| No comment yet

Palembang & Plaju: Satu Kisah Dua Kota

Anak-anak muda Palembang pendengar lagu-lagu kritik sosial sepertinya akan berkilat matanya jika tahu bahwa Palembang pernah punya sebuah gang bernama "Rebel".

Ya! "Rebel" yang berarti "pemberontak".

Nama gang itu berasal dari seorang Belanda bernama Rebel.

Saya tahu itu dari buku baru terbitan Ombak Yogyakarta berjudul "Palembang dan Plaju: Modernitas dan Dekolonisasi di Perkotaan Sumatera Selatan Abad ke-20".

 


Meski terbit tahun 2019, tetap saya anggap baru. Karena memang baru sempat baca, setelah teronggok lumayan lama.

Waktu mulai baca, asyik ternyata.

Buku tipis 100-an halaman ini saya baca sekali baring.

Bukan karena saya menerapkan metode baca kilat seperti kata iklan pelatihan berbayar itu.

Bukan. Buku ini memang mengasyikkan.

Saya tahu apa sebabnya.

Sejak kata pengantar saya merasa dapat sambutan simpatik dari penulis buku ini.

Ida Liana Tanjung awalnya mengaku rada takut karena stigma Palembang yang kurang aman. Tapi ketakutan itu rupanya jadi ngeri-ngeri sedap. Setelah kenal, ia merasa nyaman dengan keramahan orang Palembang dan pempeknya yang lezat.


hlm. xi

Kata pengantar kedua oleh Freek Colombijn juga menjanjikan isi buku yang indah dan berfaedah bagi pembaca. Tambah penasaran lah saya.


hlm. xvi

Berikut ini sepotong gambaran umum isi buku “Palembang dan Plaju”.


hlm. 6

Sebagai buku gubahan hasil penelitian tesis, rangka buku ini tetap bercorak karangan ilmiah. Tapi daging bahasa isinya empuk dikunyah.


Sumber: https://repository.ugm.ac.id/72220/





Nampaknya Ombak sudah menghaluskan karang-karangan bahasa ilmiah naskah aslinya, sehingga pembacaan dapat mengalir lancar. Meski bukan berarti naskah aslinya pasti sulit dibaca. Saya menduga penyunting buku ini tak memakai gunting, tetapi amplas untuk memperhalus bagian-bagian yang sudah mulus. Begitulah kira-kira.

Saya mengira demikian karena bagian-bagian pendahuluan ala karangan ilmiah yang biasanya kaku justru luwes tuturannya.

Dialog penulis buku ini dengan karya-karya penulis sebelumnya juga penting bagi pembaca untuk mengenal sekilas beberapa judul pustaka utama Kota Palembang.

Perihal cara penulis buku menyusun cerita berdasarkan potongan iklan, cuplikan koran, nukilan novel, peta dan foto antik, dan tentu saja arsip kolonial dan sejarah lisan juga menarik disimak.

Saya ingin sedikit menyimpang pada bagian tentang sumber rujukan.


hlm. 19


Keluhan soal keterbatasan pustaka tentang Palembang cukup sering saya temukan dalam buku-buku tentang Palembang terbitan 1970-an hingga 1990-an. Agak aneh rasanya tetap mendapati pernyataan serupa pada tahun 2020.

Meski begitu, Ida Liana Tanjung benar bahwa buku-buku tentang Palembang lebih banyak seputar sejarah perjuangan. Saya merasa mengalami deja vu ketika membaca pernyataan itu. Karena Jousairi Hasbullah juga menyinggung soal yang sama dalam bukunya tahun 1996.


Sumber: Hasbullah, Jousairi. 1996. "Mamang dan Belanda: Goresan-goresan Wajah Sosial-Ekonomi dan Kependudukan Sumatera Selatan Zaman Kolonial dan Refleksinya pada Hari Ini". Palembang: UNSRI Press. hlm. 17.




Ya sudahlah. Mari lanjut ke bab dua.




Jejak awal Palembang menjadi sebuah kota berada jauh di masa lalu. Pada zaman para datu bersepakat membangun jaringan kekuasaan Kedatuan Sriwijaya. Kisah kegemilangan Sriwijaya, bagi saya, ibarat putaran roda pita suara kaset ceramah Dai Betawi yang mengudara tiap petang dari corong TOA. Sangat akrab di telinga.

Tak keliru tentu saja.

Ulasan ringkas lima halaman tentang Palembang era Sriwijaya dalam buku ini tak jemu dibaca. Begitu pula tinjauan historis tata kota serta tatanan sosial, ekonomi, politik Palembang masa kesultanan setebal sepuluh halaman.

Ida Liana Tanjung mencatat sejak halaman awal bahwa pembangunan gedung-gedung batu (Masjid Agung, Keraton Kuto Batu, dan Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep) pada era Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1757 M) adalah awal mula simbol modernitas melekat pada Kota Palembang.

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, atau SMB I, pernah bilang begini:
“Saya berperang dengan Kompeni, tetapi dengan cara yang berbeda. Saya menembakkan merica dan timah kepada Kompeni dan Kompeni membombardir saya dengan uang real Spanyol yang hebat.”
Ya, itu komedi. Tapi kemudian menjadi tragedi pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin II. Merica berubah jadi meriam. Setelah digempur berkali-kali oleh pasukan Belanda dan sekutunya, SMB II akhirnya mengalah pada tahun 1821.




Di atas bongkaran bangunan sistem ekonomi-politik feodal, kolonial Belanda mendirikan bangunan-bangunan baru. Dalam buku “Lukisan tentang Ibu Kota Palembang”, Komisaris yang kemudian menjadi Residen Palembang, Sevenhoven seakan-akan yakin bahwa kolonial Belanda datang untuk membebaskan masyarakat Palembang dari tirani feodalisme.

Ya, itu sejatinya cuma judul dan kover baru yang menyelubungi proses exploitation de'l homme par l'homme. Arsitektur kolonial di atas fondasi ideologis itu sudah disingkap oleh Dedi Irwanto dalam buku “Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial”.

Meski Dedi Irwanto dan Ida Liana Tanjung sama-sama mengungkap makna simbolik dari perubahan Kota Palembang, baik secara fisik maupun non-fisik, keduanya punya perbedaan nyata. Salah satunya dapat dilacak lewat kata kunci. Jika buku “Venesia dari Timur” bertabur kata “ideologi”, buku “Palembang dan Plaju” berserak istilah “modernitas”. Beda kata kunci, beda pula isi teks narasi.

Seperti Sevenhoven dan Dedi Irwanto, Ida Liana Tanjung juga melukis metamorfosis Kota Palembang sepanjang titik-titik kisar perubahan wajah kota yang kentara-signifikan. Dengan risiko bias gender, saya menilai lukisan Ida Liana Tanjung lebih rapi jali. Lukisan Sevenhoven jelas-jelas bias superioritas barat yang congkak ketika menggambarkan tentang dunia timur dan ingin terkesan eksotis ala mooi indie, meski tanpa gunung dan sawah. Sedangkan lukisan Dedi Irwanto menyerupai cetak biru konstruksi jalan, bangunan, dan jembatan.

Sebagai sejarawan yang mengusut benang-benang perubahan dan kesinambungan, Ida Liana Tanjung merajut cerita perubahan Kota Palembang era kolonial sebagai pola yang paling besar porsinya. Tiga puluhan halaman narasi perubahan itu ia susun secara diakronis menjadi empat motif utama.




Simbol-simbol modernitas penulis petik dari berbagai sektor yang secara umum merupakan bagian dari proyek-proyek pembangunan kolonial. Seperti pembukaan jalur transportasi beserta introduksi berbagai wahana bertenaga mesin, pembukaan pasar di berbagai kawasan yang berarti meluasnya monetisasi atau ekonomi uang yang melibatkan dunia perbankan, pembangunan perumahan untuk orang-orang Eropa di kawasan Talang Semut; muncul pula pusat-pusat pertunjukan atau hiburan, pendirian menara tandon beton penyimpan sekaligus penyalur air bersih, dan lain sebagainya.


Sumber: Santun, Dedi Irwanto Muhammad. 2011. “Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial”. Yogyakarta: Ombak. hlm. 284.


Akan tetapi, sebagian besar simbol-simbol modernitas secara fisik itu cenderung eksklusif pemanfaatannya bagi kalangan Eropa. Kenyataan itu menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangunan kolonial justru mencipta ketimpangan di tengah masyarakat yang dibelah-belah berdasarkan ras.

Selain bangunan fisik, surat kabar juga menjadi sumber rujukan yang kaya. Ida Liana Tanjung secara jeli memilih iklan lampu dan mobil dalam surat kabar Pertja Selatan dari dekade 1920-an dan 1930-an sebagai representasi simbol-simbol modernitas. Dua produk modern yang bertautan dengan pembangkit listrik, pendidikan, jalanan darat beraspal, pengangkutan hasil perkebunan, dll. Bahkan surat kabar itu sendiri merupakan indikator modernitas.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa surat kabar pertama di Palembang terbit pada tahun 1898, yakni Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang, Djambi en Banka yang awalnya terbatas di lingkaran perusahaan pertambangan minyak bumi sekitar Palembang.






Perkembangan industri minyak di seputar Keresidenan Palembang inilah yang menyebabkan munculnya sebuah “kota dalam kota” Palembang. Itulah Plaju.

Ternyata bukan cuma air yang mengalir lewat sungai-sungai yang bermuara di Palembang, tapi juga minyak. Aliran minyak dari ladang-ladang emas hitam itu bermuara di kilang-kilang penampungan Plaju yang dikelola oleh Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM) untuk kemudian dimasak dan dipasarkan.

Plaju tumbuh menjadi kota baru di pinggiran Sungai Musi pada kuartal pertama abad ke-20, karena aliran minyak mengundang aliran manusia yang hendak mencari peruntungan di tanah harapan.












Seperti minyak yang memendarkan warna-warni pelangi bila terpapar air, Palembang dan Plaju berkembang jadi kota berpenduduk multiras-multietnis.







Perihal kemajemukan menjadi salah satu simpul analisis penulis buku. Karena dimensi sosial ini berimplikasi pada ranah pemukiman, pendidikan, hingga kecenderungan mengonsumsi produk-produk baru seperti mobil, pakaian ala Eropa, bahkan pasta gigi dan sabun mandi yang dapat membentuk citra hidup modern. Berbagai pernak-pernik simbol modernitas itu Ida Liana Tanjung rangkai dengan satu simpul kemajemukan beserta catatan tentang ketimpangan akses di antara kelompok sosial khas kolonial.




Akhirnya tibalah saatnya mengucap sayonara pada kolonialisme.

Ulasan seputar periode revolusi fisik dan pertempuran di Palembang serta Plaju sudah banyak beredar. Saya ingin mengulas yang asyik-asyik aja, yakni proses dekolonisasi lewat perubahan nama-nama jalan yang Ida Liana Tanjung kupas di bab akhir buku.

Perubahan nama-nama jalan di Palembang merupakan peristiwa politis-simbolik usai masa penuh energi revolusi (1945-1950) di Indonesia. Khususnya setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar.

Peristiwa itu Palembang rayakan secara simbolik lewat perubahan nama-nama jalan. Simbol utamanya ialah “Jalan Merdeka”.












Ada 43 nama baru yang menggantikan sedikitnya 44 nama jejalan lama di Kota Palembang. Daftar lengkap dapat diakses lewat tautan INI.

Meski begitu, tak semuanya baru.

Nama buah-buahan seperti Rambutanlaan, Jambulaan, Manggalaan, dan Sawolaan hanya berganti akhiran “-laan” jadi awalan “Djalan”. Riouwstraat, Billitonstraat, dan Bankastraat menjadi Jalan Riau, Jalan Beliton, dan Jalan Bangka.

Nama-nama yang benar-benar baru adalah yang sebelumnya berupa nama-nama bangsawan Belanda.




Wilhelmina dan Prins Hendrik menjadi Diponegoro.

Juliana jadi Kartini.

Willems jadi Supeno.




Beatrix jadi Indra.

Emma jadi Ratna.

Sophie jadi Joko.

Pilihan nama pengganti terbilang kreatif.

Dua nama pahlawan angkatan laut Belanda berganti nama-nama pahlawan Melayu: de Ruyter jadi Hang Tuah, sedangkan Tromp jadi Hang Suro.





Perubahan nama-nama jalan itu terjadi di kawasan Seberang Ilir Palembang, khususnya di seputar kawasan Talang Semut yang merupakan bekas kompleks perumahan orang-orang Eropa yang pernah menumbuhkan kecemburuan sosial di kalangan bumiputra.




Sedangkan di Seberang Ulu, khususnya Plaju, terjadi pengambilalihan rumah-rumah BPM oleh tentara. Hal serupa sebetulnya juga terjadi di Talang Semut. Perbedaannya, bukan cuma tentara yang mengambil alih aset-aset BPM, penduduk kampung sekitar perumahan BPM juga ingin turut ambil bagian.

Nama-nama jalan di kompleks perumahan BPM juga tak mengalami perubahan drastis, karena nama-nama itu memang sudah dalam bahasa Indonesia, berupa nama-nama bunga dan pepohonan. Perubahan yang cukup signifikan ialah mengganti nama Bataafse Petroleum Maatschappij menjadi Shell Petroleum. Sedangkan nama-nama jalan di kompleks perusahaan yang sebelumnya menggunakan istilah Belanda “weg” yang berarti “jalan”, berubah menjadi “road” dalam bahasa Inggris. Nama-nama jalannya sendiri tak mengalami perubahan.

Perubahan semacam itu juga nampak pada buku petunjuk telepon kawasan Palembang/Sumatera Selatan yang terbit tahun 1951 jika dibandingkan dengan keluaran 1949.





Judul edisi 1949 tertulis hanya dalam bahasa Belanda. Sedangkan edisi 1951 menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

Edisi 1949 masih memuat lambang Hindia Belanda pada sisi kiri judul. Sedangkan pada edisi 1951 sudah tak ada lagi.

Pada tahun 1951 itu pula terbit buku berjudul “Petundjuk Kota Besar Palembang”.




Penerbitnya RHAMA Publishing House. RHAMA adalah akronim Raden Haji Muhammad Akib yang biasa ditulis RHM. Akib. Seorang keturunan ningrat Palembang berlatar pendidikan arsitek yang pernah menjadi pegawai kantor urusan pekerjaan umum Kota Palembang pada era Hindia Belanda.

Sehingga tidaklah mengherankan jika iklan pertama di balik sampul depan adalah perusahaan pemborong bangunan.




Sedangkan halaman 2 berisi promosi Biro ARCHITEK RHAMA yang membidangi proyek pembangunan kota.




Kembali ke sampul. Elemen-elemen ilustrasi sampul buku itu mirip gambar hiasan kain kenang-kenangan dari UNSRI kepada Freek Colombijn.




Imajinasi simbol modernitas Palembang seakan-akan baku, mulai dari ilustrator sampul buku RHAMA tahun 1951 hingga pengrajin kain Palembang tahun 1990-an. Ada imajinasi yang seragam bahwa simbol modernitas kota sungai besar adalah jembatan raksasa sebagai penghubung daratan yang seberang-menyeberang.

Meminjam pendekatan Dedi Irwanto, saya kira itu adalah wujud perubahan sekaligus kesinambungan konstruksi ideologis tentang kemajuan yang ditanam kolonial Belanda ketika mulai menimbun sungai. Simbol-simbol prestise sosial tak lagi pada bentuk dan ukuran perahu, atau warna serta motif dayung, karena kendaraan beroda dan bermesin sudah menjadi pesona baru bagi masyarakat jajahan. Sehingga, agar roda terus berputar, perlu ada jalan. Halangan air harus diatasi lewat jembatan. Dan bila perlu, penghalang harus hilang.

Saya menduga ada sindrom kota besar di Palembang pada dekade 1950-an. Simptom itu ada pada tulisan-tulisan tentang Palembang yang selalu bergandeng dengan predikat “Kota Besar”.

Buku kedua terbitan RHAMA Publishing House pada tahun 1956 menunjukkan gejala itu.





Ada nada ketidakpuasan atas pembangunan yang kurang memadai bagi Palembang yang berpredikat “Kota Besar”. Ada pula tulisan yang seolah-olah menagih janji pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Musi.




Gejala itu menguat seiring eskalasi politik pergolakan daerah dekade 1950-an. Palembang menjadi salah satu lokasi titik didih luapan kekecewaan yang kemudian mewujud jadi gerakan PRRI-Permesta.

Perihal tarik menarik kepentingan antara Palembang dengan Jakarta serta antara Palembang dengan kubu PRRI sudah dibahas oleh Ryllian Chandra dalam buku “Kontestasi Politik di Palembang 1950-1960”.




Seperti air Sungai Musi yang keruh, ada banyak ikan besar di dalamnya.

Pembangunan besar-besaran terjadi di Palembang pada penghujung 1950-an dan awal 1960-an. Beberapa bangunan monumental dari era itu ialah Pasar Cinde (1958), Pabrik Pupuk Sriwijaya (1959), Universitas Sriwijaya (diresmikan tahun 1960), dan Jembatan Bung Karno yang kemudian menjadi Jembatan Ampera (selesai 1965).

Ida Liana Tanjung menyoroti penggunaan nama Sriwijaya pada Universitas Sriwijaya (UNSRI) dan Pupuk Sriwijaya (PUSRI). Terkait dua nama itulah ia berpendapat ada yang unik dan ambigu pada simbol-simbol modernitas Palembang.






Saya kira, munculnya keunikan dan ambiguitas itu sesungguhnya tak sepihak. Kalau mengutip Chairil Anwar, itu karena ada persetujuan dengan Bung Karno. Pembangunan Palembang pada masa senjakala kepemimpinan Bung Karno adalah buah-buah negosiasi Palembang dengan Pemerintah Pusat.

Begitulah kira-kira pembacaan saya (sebagai pedagang buku) atas karya Yuk/Mbak/Ito/Uni Ida Liana Tanjung.
| No comment yet

Buku-buku Aksara Ulu

Naskah obat-obatan beraksara ulu koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan.


Membuat catatan ini, bagi saya, terbilang nekat.

Karena saya buta aksara ulu. 

Kenekatan itu sudah sejak 14 November yang lalu.

Awalnya saya menolak jadi salah seorang pembicara dalam acara Seminar Aksara Ulu di Museum Balaputra Dewa Palembang pada 17 November 2020, karena alasan pertama di atas dan juga karena setahu saya daftar pustaka aksara ulu terlalu sedikit, sehingga belum cukup layak jadi bahan pembicaraan. Apalagi waktu untuk menyusun bahan diskusi terlalu sempit. 

Begitulah, akhirnya "todongan" panitia saya iyakan.

Sesuai dugaan, bahan pembicaraan saya pada 17 November benar-benar mentah.

Catatan ini merupakan upaya memperbaikinya.

***

Saya mulai dengan menonton video berjudul "Belajar Aksara Ulu Berkat Buku Hasil 'Nemu'" di akun Kinantan Creator milik Kurniawan Saputra. 


Dalam video yang ia unggah pada 4 Juni 2020, Kurniawan mengaku mengenal aksara ulu sejak SMA. 

"Bukan melalui mata pelajaran atau bukan diajarkan oleh seorang guru. Namun saya mengenal aksara ulu ini lewat buku yang saya pelajari secara autodidak," ungkapnya.

Buku-buku yang menjadi pedoman Kurniawan belajar aksara ulu secara mandiri ialah:

"Pelajaran Huruf Besemah (Surat Ulu)" karya Sataruddin Tjik Olah yang diterbitkan oleh Lembaga Adat Besemah Kota Pagaralam pada tahun 2009.

"Cara Cepat Membaca dan Menulis Surat Ulu (C2M2 Surat Ulu Besemah)" karya Ety Puspa. 

Dalam proses belajar mandiri berdasarkan buku-buku itu, Kurniawan menghadapi beberapa kesulitan serta muncul pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat ia konsultasikan kepada seorang guru. Sampai akhirnya jaringan media sosial mempertemukanya kepada para pegiat budaya.     

"Saya mengenal seorang sastrawan Sumatera Selatan, bahkan beliau merupakan sastrawan nasional asal dari Pagaralam yang sering saya sapa 'Kak Mady', atau nama facebook-nya Mady Lani ... Beliau memperkenalkan saya kepada guru-guru yang memang ahli di bidangnya, ahli dalam dunia aksara ulu ... saya diperkenalkan (kepada) pakar-pakar aksara ulu. Salah satunya yaitu Bapak Ahmad Rapanie Igama ... Kemudian diperkenalkan juga (kepada) Mas Wahyu ... Setelah mengenal beliau, akhirnya saya mengerti mengapa banyak sekali pertanyaan yang muncul setelah saya belajar aksara ulu," aku Kurniawan. 

Pada 6 Juni 2020, Kurniawan menyiarkan video "Review Buku Aksara Ulu Besemah, Recomended kah buku ini?



Dalam video ke-2 ini, Kurniawan Saputra memberi beberapa catatan atas buku-buku pelajaran aksara besemah yang ia peroleh dari perpustakaan sekolah serta yang ia beli langsung dari penulisnya. Salah satunya mengenai tanda baca dalam ortografi aksara ulu yang dalam dua buku tersebut berupa titik.

"Seiring berjalannya waktu, ternyata penggunaan titik itu berkembang di Besemah atau di Aksara Ulu setelah masuknya Belanda atau penjajah ke daerah Besemah dan mereka sudah mengenalkan adanya alat tulis atau tinta. Jadi untuk menyimbolkan tanda baca itu tidak perlu menggunakan goresan lagi, cuma cukup menggunakan titik, karena sudah menggunakan tinta. Sedangkan penggunaan garis, untuk peninggalan-peninggalan zaman dahulu seperti di tanduk kerbau, di bambu, itu kalau menggunakan titik akan cukup sulit ... dalam usia yang tidak lama titik itu akan pudar. Namun dengan menggunakan garis, sekian lama atau dalam beberapa puluh tahun tulisan tersebut masih tetap terbaca jika menggunakan garis sebagai tanda baca." (menit 8.05 - 9.08)

Pengakuan Kurniawan itu mengingatkan saya pada cerita Ahmad Rapanie Igama yang juga menempuh jalan serupa.

Awalnya Rapanie belajar aksara kaganga dari orang-orang yang terlebih dahulu tahu. Akan tetapi, Rapanie menghadapi kesulitan ketika membaca naskah-naskah kuno, karena modal pengetahuan tentang aksara yang ia peroleh sebelumnya tak dapat diaplikasikan pada teks naskah kuno.

Rapanie yang kemudian belajar secara autodidak, menjadikan aksara pada naskah-naskah kuno sebagai pedoman "menetapkan" rupa dan ortografi aksara ulu Sumatera Selatan. Jerih-payah Rapanie kini dipopulerkan oleh para literat aksara ulu yang telah mempelajari aksara ini dalam mata kuliah khusus di Fakultas Adab & Humaniora UIN Raden Fatah Palembang.

Dengan demikian, Ahmad Rapanie Igama layak disebut sebagai penebas hutan yang rerimbunannya pernah menutupi pengetahuan tentang Aksara Ulu Sumatera Selatan.  

Kembali ke Kurniawan, perihal dua buku tersebut di atas, ia berpendapat:

"Jika teman-teman mau belajar, nggak salah pake buku ini. Cuma kalau untuk belajar lebih jauh, mungkin ada buku-buku lanjutan setelah buku ini yang lebih lengkap dan lebih recomended. Kalau ini sudah cukup baik, namun belum begitu memuaskan bagi saya untuk belajar, sebagai bahan belajar."  

***

Pelajaran apa saja yang dapat dipetik dari pengalaman Kurniawan tersebut?

Sebagai pustakawan, pandangan dan pendengaran saya tentu fokus pada perpustakaan. Alhamdulillah, Kurniawan bersekolah di SMA yang memiliki perpustakaan. Beruntunglah Kurniawan termasuk murid yang suka berkunjung ke perpustakaan. Syukur pula perpustakaan itu mengoleksi karya Sataruddin Tjik Olah sebagai buku pertama yang memperkenalkan Kurniawan kepada Aksara Ulu Besemah. 

Tapi tentu itu saja tidak cukup. Bagaimanapun, proses belajar adalah proses sosial. Bahkan ada pendapat yang menyebutkan bahwa perlu orang satu kampung untuk mencerdaskan seorang anak. Saya kira peran para ninik-mamak yang bersepakat menyekolahkan Tan Malaka adalah salah satu contohnya.

Catatan berikutnya ialah mengenai keberadaan serta persebaran buku-buku tentang aksara ulu. Kasus Kurniawan Saputra adalah contoh istimewa. Sekali lagi, karena Kurniawan Saputra memanfaatkan perpustakaan sekolahnya, plus, dia mau belajar, meski sendirian. Sehingga dapat kita bayangkan Kurniawan Saputra lain yang tak punya akses buku itu sehingga tak berpeluang terpancing rasa ingin tahunya.

Belum lagi jika memperhitungkan pula buku-buku lain yang belum disebut di atas, salah satunya ialah buku berjudul "Aksara Base Besemah: Pelajaghan Mbace Nga Nulis Urup Ulu (Surat Ghincung)" karya bareng Sutiono Mahdi bersama Dewi Saputri yang terbit di Bandung, oleh UNPAD Press, pada tahun 2014. 


Selain tiga buku di atas, belum saya temukan lagi buku khusus tentang Aksara Ulu.

Perihal istilah "Aksara Ulu", sepengetahuan saya yang buta huruf ini, masih perlu didefinisikan kemudian perkenalkan secara lebih luas, mengingat rumpun aksara yang umumnya disebut "Kaganga" ini beragam rupanya.

Sebelum istilah "aksara ulu" mulai dipopulerkan oleh para pegiat keberaksaraan di Palembang belakangan ini, umumnya sebutan untuk aksara ini ialah "Aksara Rencong", yang lebih dipersepsikan berasal dari kawasan sekitar Kerinci (Jambi) dan Rejang Lebong (Bengkulu).

Salut kepada para pelestari aksara kuno di kawasan tetangga sebelah tenggara Sumatera Selatan, yakni "Had Lampung", karena sudah cukup dapat diidentifikasi keunikan aksara ini di antara berbagai varian dalam rumpun aksara kaganga ini.

Dua buku tentang naskah-naskah beraksara kaganga di Jambi (1989) dan Lampung (1996) ini menunjukkan bahwa Sumatera Selatan berada beberapa langkah di belakang tetangga-tetangganya.

  



Sepertinya, label identitas berupa istilah "aksara ulu" untuk menyebut ragam aksara-aksara regional Sumatera Selatan belum cukup dikenal oleh banyak pengkaji budaya-humaniora, khususnya bidang paleografi serta filologi di kawasan Sumatera Selatan dan sekitarnya. Apalagi luar Sumatera dan luar negeri.

Sehingga tidaklah mengherankan jika deskripsi naskah-naskah beraksara kaganga di Perpustakaan Nasional misalnya, masih menyisakan banyak ruang kosong. Sedangkan di perpustakaan-perpustakaan di luar negeri, seperti di Inggris, naskah-naskah beraksara kaganga yang sudah dapat cukup diidentifikasi ialah naskah beraksara Lampung. Sementara untuk naskah-naskah yang belum dapat diduga dari mana tepatnya berasal, diidentifikasi dengan sebutan generik "beraksara rencong" atau dari "Sumatera Selatan".


Ricklefs, M.C., P. Voorhoeve, & Annabel Teh Gallop. 2014. "Naskah-naskah Indonesia di Inggris: Katalogus Naskah dalam Bahasa Nusantara di Perpustakaan Umum di Inggris. Edisi Baru dengan Tambahan dan Perbaikan". Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

    
Contoh entri koleksi naskah beraksara kaganga koleksi India Office Library, Inggris, yang disebut sebagai beraksara rencong. Sumber: idem. hlm. 127. 

(Koleksi berkode "MSS Malay D 11ini sudah tersedia versi digitalnya, silakan baca lewat tautan ini: www.bl.uk/manuscripts/Viewer.aspx?ref=mss_malay_d_11_f001r)


Contoh entri koleksi naskah beraksara kaganga koleksi Museum of Mankind, Inggris, yang disebut sebagai beraksara rencong. Sumber: idem. hlm. 131.


Contoh entri koleksi naskah beraksara kaganga koleksi Museum of Mankind, Inggris, yang disebut sebagai beraksara rencong. Sumber: idem. hlm. 131.

(Lihat juga postingan Annabel Teh Gallop dalam blog British Library berjudul "Malay manuscripts from south Sumatra" yang menjelaskan mengapa naskah-naskah beraksara rumpun kaganga belum semuanya dapat dideskripsikan)

Lantas, bagaimana bila hendak memeriksa sekitar 400 naskah dalam kelompok "Bahasa-bahasa Sumatra Selatan" yang tersebar di dua puluh perpustakaan di dunia yang telah dipetakan oleh GPS naskah-naskah Indonesia sedunia rakitan mang Henri dan kang Oman?

 

Chambert-loir, Henri dan Oman Fathurahman.1999. “Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia”. Jakarta: YOI & EFEO.



Sumber: idem. hlm. 197.

Kembali ke Palembang, persoalan serupa rupanya masih berlaku.

Buku katalog naskah koleksi Museum Balaputra Dewa yang terbit tahun lalu juga belum dapat memuat keterangan "dari mana tepatnya asal-usul suatu naskah", karena pengetahuan tentang itu berbeda dengan keterangan "dari mana naskah diperoleh". Begitu juga dengan keterangan berbahasa "Melayu dialek Sumatera Selatan", mengingat ada banyak ragam dialek dalam bahasa Melayu di 17 Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan.


Samsudin dkk. 2019. "Katalog Naskah Kuno Museum Negeri Sumatera Selatan". Palembang: Museum Negeri Sumatera Selatan.


Sumber gambar: idem. hlm. 24.



Sumber gambar: idem. hlm. 25.




Sumber gambar: Idem. hlm. 30.

Sumber gambar: idem. hlm. 31.


Begitulah catatan saya tentang buku-buku aksara ulu, karena hasil penelusuran dan pembacaan saya yang tentu saja terbatas menunjukkan buku-buku khusus tentang itu memang cuma segitu. 

Dalam slide terakhir, saya mengajukan beberapa usulan yang tumpang-tindih di bawah ini.



Syukur-syukur bila topik-topik kajian itu dapat menjadi buku pada masa mendatang, sehingga selain dapat jadi pedoman penentuan asal-usul naskah serta mempermudah pembacaannya, juga dapat menambah panjang daftar bacaan (terkait) aksara ulu yang saya muat gambar-gambarnya di bawah ini.

     
Tambahkan teks

















Tambahkan teks