| No comment yet

Kembara Naskah Palembang di Johor



Johor barangkali dapat dianggap sebagai tanah air kembara bagi orang Palembang. Ini anggapan berdasarkan catatan sejarah kembara Parameswara. Setelah dari Tumasik dan Muar, kafilah Parameswara akhirnya berlabuh di Malaka. Perkampungan nelayan ini kemudian berkembang jadi bandar dagang setelah kerajaan Malaka berdiri pada 1404 (Abdullah, 2021: 17-43).


Gegara Portugis merebut Malaka pada tahun 1511, keturunan Parameswara terpaksa ‘melayau’ ke berbagai pulau seputar Riau, sampai akhirnya menepi di lembah Sungai Johor dan menahbiskan kekuasaan baru pewaris dinasti Malaka, yakni Kesultanan Johor.


Sungai Johor, sebagaimana juga Sungai Musi bagi Palembang, merupakan situs arkeologis bagi Johor hari ini. Salah satu titiknya ialah Johor Lama di tebing sebelah kanan mudik Sungai Johor. Johor Lama kini menjadi salah satu mukim dalam Distrik Kota Tinggi.


Laman tentang Muzium Kota Tinggi dalam situs Yayasan Warisan Johor memuat keterangan bahwa Kota Tinggi adalah tapak sejarah Kesultanan Johor dalam kurun tak kurang dari 400 tahun. Di kawasan lembah sungai yang bermuara ke Selat Johor inilah Tun Sri Lanang dilahirkan. Ya, dia yang menyusun “Sulalatus Salatin" dan menyebutkan tentang Bukit Seguntang Palembang sebagai asal-usul raja-raja Melayu.


Catatan Kelana Naskah*


Satu dekade yang lalu, Annabel Gallop melawat ke Johor. Di Museum Kota Tinggi ia menyaksikan puluhan manuskrip Arab dan Melayu. Lalu ia menulis artikel berjudul “Malay Manuscripts in Johor”. Tulisan itu memuat deskripsi sebagaimana lazimnya ada dalam katalog naskah koleksi perpustakaan atau museum. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tulisan itu semacam “manuscripts travelogue”.


Sumber gambar:
Southeast Asia Library Group Newsletter No. 53 / Dec 2021. http://www.sealg.org/pdf/newsletter2021.pdf  

Dari puluhan naskah koleksi Museum Kota Tinggi yang Gallop deskripsikan berurutan secara alfabetis, ia menduga, juga memastikan, beberapa di antaranya adalah manuskrip yang berasal dari Palembang. Catatan di blog ini hanya akan memerikan tiga naskah, yakni manuskrip D, K, dan L.


Manuskrip D


Manuskrip ini merupakan salah satu dari tujuh buah Al-Qur’an antik di Museum Kota Tinggi. Dari tujuh koleksi itu, ada tiga yang Gallop anggap berasal dari Sumatera. Berdasarkan tampilan blok teksnya yang tinggi-lampai dan kekhasan pola sampulnya, Gallop menduga dua dari tiga Al-Qur’an ini berasal dari Minangkabau.


Contoh pola umum dekorasi sampul naskah Minangkabau berdasarkan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden (LOr 2014) yang berangka tahun 1850. Sumber gambar: Plomp (1993: 582).



Manuskrip B dengan pola dekorasi jilidan khas Minangkabau. Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 36.


Jika merujuk artikel Plomp yang  memuat ragam pola dekorasi sampul naskah-naskah dari berbagai daerah di Indonesia, manuskrip Minangkabau memang distingtif dibandingkan dengan sampul-sampul naskah asal Madura, Banten, dan Palembang yang tipis-tipis bedanya. Baik dari segi (1) pola bingkai; (2) ornamen sudut; (3) bentuk kuncup; hingga rupa relief (4) medali di tengah-tengah sampul kulitnya.

Sumber gambar: Plomp (1993: 573).


Meski begitu, salah satu dari tiga Al-Qur’an antik ini, yakni manuskrip D, berpenampilan beda dengan pola sampul naskah Minangkabau pada umumnya.

 

Manuskrip D yang diduga berasal dari Minangkabau, namun memiliki dekorasi sampul serupa naskah Palembang. Sumber gambar: Dokumentasi pribadi Annabel Gallop.  


Tiga lapis bingkai bergaris ganda pada dua halaman awal manuskrip D. Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 37.


Selain deskripsi bahwa naskah ini memiliki pembeda berupa tiga lapis garis-ganda yang membingkai teks pada halaman-halaman pembuka, belum ada petunjuk lebih lanjut untuk memperkuat dugaan asalnya dari Palembang. Ini berarti, sejauh ini, jilidan jadi pertimbangan utama dalam mengidentifikasi manuskrip D yang tak memuat keterangan tertulis perihal asal-usulnya.


Soal ini barangkali adalah pekerjaan rumah bagi manuskripter Palembang. 


Baiklah, mari lanjut ke naskah-naskah berikutnya.


Manuskrip K & L


Selain koleksi berupa tujuh buah Al-Qur’an (kode A-G) dan beberapa kitab tata bahasa Arab yang lagi-lagi diduga dari Minangkabau, Museum Kota Tinggi juga punya dua salinan naskah “Maulid Syarofal Anam", naskah yang populer di nusantara karena jadi teks rujukan ‘paduan suara dan gerak’ pembacaan sholawat dalam tradisi perayaan maulid nabi. Kedua naskah berisi sholawat ini berbahasa Arab.


Manuskrip K terbilang besar ukurannya: 36 x 23 cm. Silakan bandingkan dengan kertas A4 yang berukuran standar: 21 x 29,7 cm. Dikarenakan menggunakan kertas bertanda-air ‘STACEY WHITE 1818’, Gallop memperkirakan manuskrip ini ditulis dalam rentang dasawarsa 1820-an. 


Iluminasi bermotif bingkai berbunga-bunga aneka warna (biru, kuning, merah, dan hitam) pada naskah ini elok sekaligus tak lazim baginya. Kekhasan itu membuat ia tak mudah memastikan dari mana manuskrip K berasal. Tapi Gallop punya petunjuk lain, yaitu penggunaan warna biru serta kebiasaan pola sampul naskah Palembang.


Iluminasi pada manuskrip K yang penuh warna. Penggunaan warna biru pada iluminasinya dan pola sampulnya (gambar di bawah) menjadi satu petunjuk untuk menduga asal naskah ini dari Palembang. Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 43.

Manuskrip K, kitab "Maulid Syaroful Anam" berukuran besar dengan sampul ala Palembang. Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 44.


Sekali lagi, Gallop menyugesti bahwa manuskripter dapat mengidentifikasi naskah asal Palembang berdasarkan ciri-ciri fisiknya, khususnya jilidan atau pola sampul naskah. Secara intuitif, saya sepakat dengan dugaan Gallop. Mudah-mudahan nanti akan ada tambahan informasi untuk memperkuat dugaan ini.


Selanjutnya, manuskrip L. Kali ini Gallop beranggapan lebih pasti, bahwa naskah salinan “Syarofal Anam” yang berukuran lebih kecil dari naskah sebelumnya, namun kaya dekorasi beragam warna, jelas-jelas berasal dari Palembang. Selain sampulnya yang khas Palembang, perihal asal naskah ada pada kolofonnya yang memuat informasi nama penyalin, pemilik, serta lokasi dan waktu selesai penyalinan.


Sampul manuskrip L, kitab "Syarofal Anam" asal Palembang.
Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 46.

Kolofon manuskrip L bagian pertama, kitab "Syarofal Anam" asal Palembang.
Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 46.


Kolofon manuskrip L bagian kedua, kitab "Syarofal Anam" asal Palembang.
Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 46.


Berikut ini transliterasi kolofon manuskrip L:


tarikh nabi s.a.w. seribu dua ratus lima puluh satu dan kepada tahun ba dan kepada tujuh hari ublan Rajap dan kepada hari Jumaat masa itulah sudah selesai Maulud Nabi s.a.w. Nyayu[?]Irang Kampung / Dua Puluh Dua Ilir Kiagus Muhammad ‘Aqip adanya”.


Selain teks kolofon bertinta hitam tersebut, ada teks keterangan tambahan yang ditulis menggunakan pensil sebagai berikut:

 

dua (?) alamat surat sampai kepada adinda Muhammad Kusin.”


Berdasarkan dua teks keterangan itu dapat diketahui bahwa Kiagus Muhammad Akib selesai menyalin naskah ini pada 7 Rajab 1251 Hijriah atau 29 Oktober 1835 di Kampung 22 Ilir Palembang. Nampaknya Akib menyalin naskah berdasarkan pesanan Nyayu Irang. Sedangkan keterangan tambahan yang memuat panggilan ‘adinda’ sebelum nama Muhammad Kusin dapat jadi petunjuk untuk menduga bahwa Nyayu Irang adalah perempuan yang ‘dituakan’ (kalaupun bukan sebagai ‘yunda’ atau kakak perempuan) bagi Muhammad Kusin. Dengan demikian, keterangan tambahan itu Nyayu Irang tulis sebelum naskah ia berikan kepada Muhammad Kusin. Untuk itu, Nyayu Irang tentu punya cukup modal membeli kertas, tinta, serta kulit sampul; dan jika benar bahwa penyalinan naskah ini adalah kerja profesional, maka ia juga harus membayar upah penyalinnya.**


Selain sekali lagi merujuk Plomp tentang jilidan naskah Palembang, Gallop juga menambahkan contoh pembanding dari segi iluminasi, yakni kitab "Maulid Syarofal Anam” koleksi Kemas Andi Syarifuddin dalam Katalog Naskah Palembang  (Ikram, 2004: 175).***


Halaman-halaman beriluminasi dalam manuskrip L, naskah "Syarofal Anam" dari Palembang. Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53 / Des 2021, hlm. 45.


Halaman-halaman beriluminasi dalam manuskrip L, naskah "Syarofal Anam" dari Palembang. Sumber gambar: Dokumentasi pribadi Annabel Gallop.

Contoh pembanding berupa iluminasi atau 'headpieces' pada dua halaman pertama naskah ""Syarofal Anam" koleksi Kemas Andi Syarifuddin di Palembang. Sumber & keterangan gambar: Ikram (2004: 174-175). Gambar ini dicetak hitam-putih dalam buku "Katalog Naskah Palembang".

Sebagai bonus, di bawah ini saya tampilkan beberapa sampul naskah Palembang.


Silakan pemirsa bandingkan dan simpulkan.


KIRI: Sampul naskah "Syair Raja Mambang Jauhari" karya Pangeran Bupati Panembahan (adik dari Sultan Mahmud Badaruddin II).
Sumber gambar: Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden (Or. 1896). http://hdl.handle.net/1887.1/item:2038807.
KANAN: Sampul naskah "Syair Sinyor Kista (atau Kosta) yang disebut sebagai karya Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sumber gambar: Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden (Or. 1895). http://hdl.handle.net/1887.1/item:2078001 

KIRI: Sampul naskah "Syair Ken Tambuhan".
Sumber gambar: Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden (Or. 3375). http://hdl.handle.net/1887.1/item:2044545.
KANAN: Sampul kitab "Ihya Ulumuddin" yang dicetak tipografi oleh percetakan al-Habsyi pada tahun 1864 di Palembang.
Sumber gambar: Koleksi Perpustakaan Umariyah, Palembang. 

KIRI: Kitab "Dalail Khairat" yang pernah menjadi koleksi Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sumber gambar: Koleksi Perpustakaan Universitas Leipzig.
https://www.islamic-manuscripts.net/receive/IslamHSBook_islamhs_00012174
KANAN: Kitab "Qowaidil Aqoid Ma Huwa Tsaniy min Kitab Ihya Ulumuddin" yang pernah menjadi koleksi Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sumber gambar: Koleksi Sayid Muhammad bin Syeh Alhabsyi, 13 Ulu Palembang.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Ampera/article/view/7711/3598.

KIRI: Sampul mushaf Al-Quran tulis tangan dari pertengahan abad ke-18.
Sumber gambar: Koleksi Kemas Andi Syarifuddin.
KANAN: Sampul Al-Qur'an Cetak Palembang 1848.
Sumber gambar: Koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.


Meski sudah memerikan tiga manuskrip koleksi Museum Kota Tinggi yang dua di antaranya (manuskrip D & K) diduga berasal dari Palembang; sedangkan manuskrip L jelas-jelas naskah Palembang; catatan tak berhenti sampai di sini. Ada catatan tambahan dari Gallop tentang manuskrip M yang ia anggap penting sebagai contoh tentang penyalinan dan penyebaran manuskrip antarpulau di Nusantara.


Kolofon manuskrip M yang merupakan salinan oleh Encik Ismail atas naskah milik Pangeran Dipati dari Palembang. Disalin di Batavia pada tahun 1822.
Sumber gambar: SEALG Newsletter, No. 53/Des 2021, hlm. 49.

Perihal itu dapat dibaca dengan baik pada kolofonnya sebagai berikut:


"dan adalah surat ini Encik Ismail ibn Muhammad juru tulis Engku Sayid Muhammad Zain tatkala pergi ke Betawi duduk / di dalam Kampung Kerukut Jawa diambil kepada Pangiran Dipati Palembang disalin daripada kitabnya, adalah Pangiran Dipati itu duduk bersama-sama di dalam Kerukut Kampung Jawa itu, adapun Encik Ismail waktu menyuratnya itu iaitu kepada dualapan belas hari bulan Zulkaidah pada hari Selasa kepada jam pukul sembilan adanya fi al- tarikh al-sanat 1237".

 

Encik Ismail adalah juru tulis bangsawan Riau bernama Engku Sayid Muhammad Zain yang bertemu priyayi Palembang bernama Pangeran Dipati di Kampung Krukut, Batavia. Pertemuan itu rupanya bukan cuma kongko-kongko para literati sembari minum kopi di kampung Arab, namun juga peristiwa kopi naskah milik orang Palembang, oleh penulis Riau, di Pulau Jawa. Encik Ismail selesai menyalin naskah itu pada hari Selasa, 6 Agustus 1822, pukul 9 pagi.

Jika Encik Ismail dan Engku Sayid Muhammad Zain dapat diketahui secara cukup pasti, lain halnya dengan sang Pangeran Dipati. Meski dari gelarnya dapat diduga profilnya, mengingat "pangeran" di Palembang adalah status bagi orang-orang dalam lingkaran istana.

Setidaknya ada dua kemungkinan kedudukan bagi seseorang yang bergelar "pangeran" di Keraton Palembang. Pertama, sebagai anak kandung sultan. Kedua, sebagai gelar pejabat teras istana. Sedangkan gelar ‘Pangeran Adipati’ dalam beberapa naskah Melayu berarti ‘Menteri Pertama’ atau ‘Perdana Menteri’ (Wargadalem, 2012: 50).

Persoalannya, dalam rentang tahun 1800 hingga 1820-an, sedikitnya ada tiga orang priyayi di Keraton Palembang yang menyandang gelar "Pangeran Adipati" (Wargadalem, 2012: 275-276). Saya menduga "Pangeran Dipati" yang Encik Ismail tulis itu adalah Pangeran Bupati (lebih lengkapnya adalah Pangeran Panembahan Bupati Hamim) yang juga pernah bergelar sebagai Pangeran Adipati Tuo. Pangeran Bupati ini adalah adik dari Sultan Mahmud Badaruddin II.  

Manuskrip milik "Pangeran Dipati" yang Encik Ismail salin merupakan kitab berisi teks zikir, ikhtisar ajaran tasawuf, serta syair. Berdasarkan isi naskah itulah saya menduga "Pangeran Dipati" yang Encik Ismail tulis adalah Pangeran Bupati. Mengingat ia adalah anggota keluarga Kesultanan Palembang yang juga dikenal sebagai penulis "Syair Patut Delapan", sebuah karya sastra dalam genre syair sufistik, serta beberapa judul kitab lain (Drewes, 1977: 226-7). Hal itulah yang membedakan ia dengan kakaknya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang cenderung menulis syair romantis. 

Ya, tentu saja dugaan itu masih perlu diperiksa lebih lanjut.

Catatan akhir


Gallop sebetulnya tak sekadar mendeskripsikan koleksi manuskrip di Museum Kota Tinggi, ia juga menawarkan metode kepada manuskripter ketika menghadapi manuskrip tanpa kolofon atau menemui kekosongan kolom asal-usul pada tabel inventarisasi koleksi manuskrip di museum atau perpustakaan. 


Pertama-tama ia mencermati ciri-ciri fisik naskah, baik berupa tampilan blok teks, gaya dan warna iluminasi, jenis kertas, hingga pola dekorasi jilidan/sampulnya. Catatan dari Johor menunjukkan bagaimana Gallop mengelompokkan manuskrip berdasarkan ciri-ciri tersebut. Seperti pada kelompok koleksi Al-Qur'an asal Minangkabau. Sehingga jika ada manuskrip yang cenderung serupa dengan suatu kelompok koleksi yang sudah dikenali ciri-cirinya, maka ia memasukkan manuskrip tanpa keterangan asal-usul ke dalam kategori koleksi yang sudah ia identifikasi.  


Kendati demikian, selalu saja ada satu-dua-tiga naskah yang tak dapat segera dimasukkan ke dalam suatu kategori. Sehingga harus dibuatkan kelompok tersendiri atau diberi keterangan tanda tanya. Setiap upaya klasifikasi, seketat apapun, hampir pasti muncul kategori serba-serbi atau aneka ragam, seperti yang juga dialami oleh Sutaarga dkk ketika menyusun "Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Dep. P. dan K.".


Sumber gambar: Sutaarga dkk (1972, xviii).

Demikian catatan ini yang merupakan semacam saduran atas artikel Gallop mengenai manuskrip melayu di Johor. 

Semoga bermanfaat. 

###


*Informasi lebih lanjut mengenai kelana naskah Palembang dapat dirujuk ke tulisan-tulisan berikut ini:

Muhammad Kelanah - Pengumpul dan Penyalin Manuskrip Abad ke Sembilan Belas.

Palembang Kraton Manuscripts.


**Informasi lebih lanjut mengenai penyalinan dan aspek ekonomi manuskrip serta buku cetak awal di Palembang dapat dirujuk ke artikel-artikel berikut ini:

A Pioneer Publisher in Palembang, 1905”.

On the Edge of a Tradition: Some prolegomena to paratexts in Malay rental manuscripts.

Penyalinan Naskah Melayu di Palembang: Upaya Mengungkap Sejarah Penyalinan.

Running a Lending Library in Palembang in 1886 AD.

Tradisi Penyalinan Naskah Islam Palembang: Ditinjau dari Perspektif Ekonomi. 


***Informasi lebih lanjut mengenai naskah dan tradisi syarofal anam di Palembang dapat dirujuk ke tulisan-tulisan berikut ini:

Kajian Naskah “Syaroful Anam ”Koleksi “Kms. H. Andi Syarifudin, S.Ag.

Seni Syarofal Anam di Kota Palembang.

Syarofal Anam: Fungsionalisme Struktural pada Sanggar Annajjam Kota Palembang.