Bibliografi Peter Carey #1


“Pak Peter, perkenalkan, saya Subhan, saya bekerja sebagai Pustakawan,” ujar saya sembari mengajak berjabat tangan.

“O.. perpustakawan,” sahut Peter Carey antusias.

Saya tidak mengoreksi ucapan Peter Carey yang keliru menyebut “pustakawan” menjadi “perpustakawan”. Kekeliruan itu sudah ia sebutkan sejak awal ia bercerita tentang tonggak-tonggak kehidupannya. “Ibu saya seorang perpustakawan,” kata Peter.


Wendy, sang ibu yang adalah seorang pustakawan, melahirkan Peter di Rangoon, Burma, pada 1948.


Rabu, 7 Maret 2012, dalam forum bertajuk “Metode Riset Sejarah: Membosankan atau Mengasyikkan?”, di ruang seminar LPPM Universitas Sanata Dharma, Peter Carey bercerita tentang tonggak-tonggak sejarah hidupnya, khususnya sebagai sejarawan yang meneliti Pangeran Diponegoro.


Dari Perpustakaan ke Perpustakaan

Saya memberanikan diri berkenalan dengan Peter Carey karena saya ingin bertanya padanya mengenai apa makna perpustakaan bagi dirinya, khususnya sebagai peneliti sejarah. Saya ingin menanyakan hal itu karena dalam paparan kisah hidupnya, Peter sedikitnya tiga kali menyebut perpustakaan.

Pertama, “Moberly Library”. Perpustakaan Moberly adalah perpustakaan sekolah menengah dimana Peter mulai menekuni buku-buku sejarah.


***

Kedua, “Olin Library” yang adalah perpustakaan di Universitas Cornell. Mengenai perpustakaan ini, Peter bilang, “Satu perpustakaan yang hebat sekali juga.” Peter tidak berlebihan menyebut “Olin Library” sebagai perpustakaan yang hebat sekali, perpustakaan yang namanya diambil dari John M. Olin dan berdiri pada 1961 ini kini mengoleksi 4.674.186 bahan pustaka dalam format cetak dan bentuk mikro. Setidaknya jumlah koleksi di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang luar biasa besar tersebut mencerminkan keseriusan Universitas Cornell menjadikan Olin Library sebagai perpustakaan riset yang andal.


Di Perpustakaan Olin inilah Peter mulai mengenal Pangeran Diponegoro. Berikut ini kisah Peter perihal awal perkenalannya dengan Pangeran Diponegoro.

“Jadi saya sedang asyik belajar bahasa Belanda, dan saya pergi ke Olin Library, dan saya ambil buku De Graaf, Geschiedenis van Indonesië, terbit 1949 … Saya dari A sampai Z pakai kamus untuk bisa belajar dan terus bisa pakai bahasa Belanda. Waktu saya lihat bab mengenai Perang Jawa, tiba-tiba saya lihat ini sketsa dari Mayor de Stuers yang menjadi perwakilan atau ajudan, menantu dari Panglima, Jenderal De Kock. Dan disuruh oleh De Kock mengawal dengan Kapten Roeps, orang yang pandai bahasa Jawa, dari Magelang sampai Batavia. Dan ia membuat sketsa ini waktu Diponegoro, 8 Maret sore, masuk ke Metesih, salah satu perkemahan yang dibuat oleh Belanda untuk menampung 660 orang, dan saya tergiur siapa ini, yang tidak bisa lihat muka, kelihatan lesu, kelihatan orang yang misterius. Ada semacam kontak batin dengan orang ini. Dan saya ambil keputusan, mungkin saya akan ambil Diponegoro,” tutur Peter.



Meminjam istilah Nursam yang mengutip Sjafi’i Maarif, “titik-titik kisar” yang mempengaruhi karir Peter sebagai sejarawan terjadi di perpustakaan-perpustakaan. Peter Carey menyebut titik-titik kisar itu dengan istilah “eureka moment”.

Kisah Peter di atas mengingatkan saya pada Harry A. Poeze yang tertarik meneliti Tan Malaka karena membaca buku karya Ruth T. McVey yang berjudul “The Rise of Indonesia Communism”.


Memang dalam buku McVey itu (berdasarkan versi terjemahan dalam bahasa Indonesia) nama Tan Malaka paling banyak disebut (133 kali), ketimbang Alimin (58 kali), Darsono (97 kali), dan Musso (55 kali), namun Tan Malaka tetap misterius bagi Poeze. “Tan Malaka banyak disebut, tapi sedikit sekali keterangan tentang dia,” ungkap Poeze pada saya saat berkunjung ke Perpustakaan IRE pada medio Desember tahun lalu.

***

Ketiga, PusNas yang adalah istilah bagi Peter untuk menyebut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Terkait PNRI, Peter bercerita, “Lantas, juga di PusNas. Ini biografi Diponegoro, autobiografi, ditulis dalam bahasa pegon. Saya tidak bisa bahasa pegon, bisa bahasa Jawa. Ini kopi pertama yang dibuat dari naskah yang punya keluarga yang sekarang sudah tidak ada lagi di Makassar. Dan disusun oleh Belanda. Dibuat suatu project oleh Belanda untuk bisa pengetahuan bagaimana saya ada nuansa seorang Islam yang saleh. Mereka mau membuat suatu terjemahan dalam bahasa Belanda.”


Perihal Babad Diponegoro, dalam kata pengantar buku "The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855" edisi pertama, kemudian dimuat lagi dalam edisi terjemahan dengan judul "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855", Peter Carey menulis seperti ini:

"Naskahnya, khususnya riwayat hidup mengesankan yang ditulis tangan semasa dalam pengasingannya di Manado (1830–1833), Babad Diponegoro, yang tebalnya sampai 1.000 halaman lebih, seharusnya sudah sejak lama tampil dalam suatu penerbitan yang sarat dengan penjelasan panjang lebar. Sayang, kenyataannya sama sekali tidak demikian. Sejarah agaknya kurang dihormati oleh masyarakat Indonesia masa kini dan akibatnya yang pahit tampak dalam penanganan yang sangat buruk oleh pemerintah pusat di Jakarta ... Akibatnya, naskah asli Babad Diponegoro yang ditulis dengan huruf Jawi pegon di Perpustakaan Nasional—setara dengan buku pintar Oliver Cromwell atau catatan harian George Washington—menjadi rusak berat". (hal. xxxviii)


***

Kembali ke cerita tentang niat saya bertanya pada Peter Carey. Usai acara seminar, segera saya datangi beliau dan memperkenalkan diri saya sebagai pustakawan.

Kemudian saya bertanya padanya:

AS: "Apa makna perpustakaan bagi anda, khususnya sebagai peneliti sejarah?"

Berdasarkan ingatan saya, begini kira-kira jawaban Peter Carey:

PC: "Perpustakaan itu tempat dimana orang dapat mengalami serendipity. Tempat di mana ada banyak buku yang akan mengantarkan kita pada hal-hal yang tak terduga."
Lantas saya kembali bertanya:

AS: "Berdasarkan pengalaman anda, seperti apakah perpustakaan yang ideal itu?"

Masih berdasarkan ingatan saya, kira-kira Peter Carey menjawab seperti ini:

PC: "Perpustakaan yang terbuka, yang menyediakan alternatif apabila pengunjung tidak menemukan apa yang ia cari. Juga perpustakaan yang dapat meminjamkan bahan bacaan dari perpustakaan lain bila di perpustakaan itu tidak memiliki koleksi yang dibutuhkan pengunjung."

AS: Di mana anda menemui perpustakaan yang ideal itu?

PC: Perpustakaan di Universitas Leiden. Di sana koleksi tentang Indonesia sangat besar.

Perihal Perpustakaan Universitas Leiden, dalam kata pengantar bukunya (hal xliii), Peter menulis, " ... kekayaan naskah-naskah Jawa yang tiada tara di Universiteits Bibliotheek, Leiden, juga dibukakan bagi saya."

AS: Adakah pengaruh Ibu anda sebagai Pustakawan terhadap karir anda sebagai Sejarawan?

PC: Ya, Ibu saya banyak membaca.

Peter Carey adalah akademisi yang tak lalai mengapresiasi perpustakaan dan pustakawan. Masih dari bagian kata pengantar bukunya, Peter menulis ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penyelesaian buku itu.

Mungkin kata pengantar ini bisa dibandingkan dengan medan pertempuran Perang Dunia Pertama dalam jumlah nisan mereka yang sudah wafat menunjukkan betapa seluruh satu generasi sarjana, juru-arsip, dan pustakawan telah meninggal dunia sebelum mendapatkan ucapan terima kasih yang layak dalam buku ini. (hal. xlv)

***

Terima kasih Pak Peter. Anda membuat saya merasa bangga menjadi seorang pustakawan.

Bersambung ke Bi-biblio-grafi Peter Carey #2 Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment