Bibliografi Peter Carey #2
Sambungan dari Bibliografi Peter Carey #1***
Wikipedia memuat sedikitnya lima orang berbeda yang sama-sama bernama Peter Carey. Kondisi semacam ini menjadikan Amazon.com dan Google Book bukanlah sumber informasi awal yang andal untuk menyusun daftar karya Peter Carey Sejarawan Inggris itu. Dus, saya lebih memilih situs jejaring sosial pembaca buku dan katalog-dalam-jaringan dengan penapis yang dapat membantu saya.
Goodreads librarian juga mewanti-wanti bahwa ada lebih dari satu nama Peter Carey sebagai penulis buku dalam pangkalan data Goodreads. Itulah mengapa 14 judul buku pada halaman daftar karya penulis atas nama Peter Carey dengan foto Peter Carey sebagai Sejarawan memuat dua judul buku tentang panduan perlindungan data serta aspek hukum bisnis media dan hiburan.
Penelusuran melalui katalog sedunia, WorldCat, menghasilkan 818 temuan judul buku. Untunglah WorldCat memberi petunjuk untuk menyaring hasil temuan yang terlalu besar itu. Lantaran WorldCat, saya jadi tahu bahwa ada nama unik untuk membedakan antara Peter Carey yang Sejarawan dengan Peter Carey Peter Carey yang lain, yakni: P.B.R. Carey.
Pelacakan lebih lanjut juga saya lakukan melalui katalog Perpustakaan KITLV dan Perpustakaan Universitas Cornell. Melalui katalog online dua perpustakaan ini, saya dapat menyusun daftar karya Peter Carey yang tak cuma berupa buku, namun juga artikel-artikel dalam terbitan berkala ilmiah.
Hasil penelusuran melalui Goodreads, WorldCat, katalog perpustakaan KITLV dan Cornell University, saya olah kemudian verifikasi melalui Google Book dan berbagai pangkalan data jurnal ilmiah untuk melacak apakah pustaka-pustaka tersebut dapat diakses penuh maupun sebagian secara online.
Berikut ini hasil pelacakan yang saya racik dengan berbagai temuan lain menjadi bi-biblio-grafi Peter Carey dekade 1970an.
*
Awalnya, Pangeran Diponegoro bukanlah pilihan Peter untuk bahan kajian penelitiannya. Sebelum lulus kuliah di Trinity College, Universitas Oxford, seorang ahli sejarah kolonial bernama Jack Gallagher menyarankan Peter meneliti tentang Herman Willem Daendels, sebagai kajian tentang pengaruh Revolusi Perancis terhadap belahan dunia di luar Eropa, khususnya di Jawa.
Suatu sore pada bulan Juni (?) 1969, saat Peter minum bir bersama Richard Cobb sembari berdiskusi untuk persiapan menghadapi ujian akhir pada esok hari, datanglah Jack Gallagher, lantas mereka terlibat dalam percakapan ini:
Namun akhirnya Peter malah tercebur meriset sejarah era Dipanagara karena dorongan George Kahin dan Ben Anderson saat ia kuliah pada jenjang pascasarjana di Universitas Cornell.
“Saya punya satu keanugerahan yang luar biasa untuk bisa di sana, di tengah-tengah arus yang paling kuat dari perkembangan dari Southeast Asian Studies, program untuk Indonesia yang didirikan oleh George Kahin,” ungkap Peter dalam forum seminar di Sanata Dharma.
Keyakinan Peter untuk meneliti Mas Galak goyah saat ia berdiskusi perihal rencana penelitiannya dengan Kahin dan Ben. Begini ceritanya:
“Waktu saya menghadap dengan Ben … Mereka bilang pada saya, ‘Niat Bung baik, tapi itu bukan hakekat yang kita buat di sini. Maknanya yang kita ingin adalah … Kita ingin formasi sejarawan yang punya identitas kedua, semangatnya ambil Indonesia, belajar dulu bahasa Jawa, Indonesia, bahasa Belanda, lantas kembali kepada kita dan bilang apa sebenarnya niatnya.”Lantas kita tahu, buku karya De Graaf di Perpustakaan Olin telah membuka kontak batin antara Peter pada sosok Pangeran Diponegoro.
Maka dimulailah petualangannya.
“Waktu di Mississipi saya lihat ada semacam pelabuhan khusus untuk Jakarta Lloyd. Jadi saya pikir saya akan ambil kapal laut Jakarta Lloyd, sudah lama di perpustakaan, sudah lama di akademi, saya akan ke laut lepas. Dan bagaimana di laut lepas, ini menjadi seperti taman mini Indonesia, ada Nahkoda dari Minangkabau, ada first officer dari Ambon, ada Kepala Mesin dari Jawa Tengah, ada banyak orang Batak … Tidak bisa menghindar, ada laut lepas dan ada kapal untuk tiga bulan, jadi tidak ada ampun, setiap hari harus pakai bahasa Indonesia. Jadi ini salah satu cara untuk napak-tilas atau lelono yang sangat bagus bagi Bahasa.”
Sepanjang 1971-1973 Peter melakukan penelitian di Leiden, Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar sehingga menghasilkan “The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanagara; a case study”. Inilah monografi terlawas karya P.B.R. Carey yang dapat diakses sebagian melalui internet. Karya ilmiah ini dipublikasikan oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dalam terbitan tak berkala (occasional paper) nomor 24, Desember 1974. Monograf ini dapat Anda baca di Perpustakaan CSIS dan Perpustakaan Unika Atma Jaya.
Teks ini merupakan jejak awal perjalanan karir Peter Carey yang kemudian ditabalkan sebagai ahli tarikh dari Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Oxford untuk studi —sejarah sosial-ekonomi dan politik— kawasan Asia Tenggara, khususnya: Jawa, Timor Leste, dan Burma.
Sudah sejak karya awal ini Peter Carey menjadikan Babad Dipanagara sebagai rujukan utama. Pada bagian pendahuluan paper ini kentara benar pengaruh Sang Guru, Richard Charles Cobb, pada Peter Carey. Berikut ini pengakuan Peter di Sanata Dharma:
“Yang saya pelajari dari Richard adalah untuk mengutamakan detail yang agak aneh … dia betul-betul nyemplung atau seperti diasah di dalam suatu lingkup Perancis, tapi Perancis akhir 18 awal 19. History from below.”
Pada catatan kaki nomor 2 dalam paper ISEAS di atas, Peter memberitahu pembaca bahwa dalam waktu dekat artikelnya yang membahas tentang sejarah Pangeran Diponegoro berdasarkan kitab Kedung Kebo akan terbit dalam BKI volume 130.
BKI adalah kependekan dari Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Nama jurnal ini dalam bahasa Inggris adalah Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Fokus kajian jurnal ini adalah linguistik, antropologi, dan sejarah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Jurnal ini diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). BKI pertama kali terbit pada tahun 1851, kemudian mulai terbit secara rutin sejak 1853 dengan nama Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Jurnal ini berubah nama menjadi tanpa embel-embel Nederlandsch-Indië sejak tahun 1948. Hingga kini BKI tetap terbit dan dapat diakses gratis secara online. Ketika catatan ini ditulis, BKI edisi terbaru adalah Vol. 167, No 4 (2011).
Bila berminat tahu lebih jauh perihal BKI, silakan simak artikel karya A. Teeuw yang berjudul: Bijdragen and the study of Indonesian languages and literatures.
**
“Javanese histories of Dipanagara; The Buku Kědhuŋ Kěbo, its authorship and historical importance” adalah artikel yang Peter promosikan dalam keterangan catatan kaki di atas.
Dua gagasan perihal ekologi kebudayaan Jawa dan buku Kedung Kebo dalam dua artikel tersebut sudah menjadi satu dalam buku berjudul “Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo”, diterbitkan oleh Pustaka Azet, pada Desember 1986.
Sejauh penelusuran saya, belum ada edisi baru untuk buku ini. Utas diskusi di bawah judul buku ini dalam Goodreads juga sepi. Saya menduga itu karena buku ini sulit diperoleh. Bila berminat membaca buku ini, Anda dapat meminjamnya di:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Perpustakaan Balai Arkeologi Yogyakarta
Perpustakaan Proklamator Bung Karno (Blitar)
Bila berminat membeli, silakan hubungi Pustaka Daluang.
***
bersambung ...
Reply to this post
Post a Comment