| No comment yet

Buku-buku Perang Palembang


 

Tahun 1996, buku berjudul "Mamang dan Belanda" karya Jousairi Hasbullah terbit. Dalam buku itu ia menyinyalir tentang buku-buku Palembang yang cenderung bertema perang dan kepahlawanan.


Begini lengkapnya:


"Perjalanan selama 51 tahun sebagai bangsa merdeka, barangkali merupakan waktu yang cukup untuk dengan tenang merenungkan masa yang silam. Tidak hanya dari perspektif kepahlawanan dan "perang" saja, melainkan dari berbagai dimensi berbangsa di masa lalu. Barangkali bijak, jika kita pun merenungkan masyarakat kita sendiri, terutama dimensi sosio-kulturalnya."


Gambaran serupa juga ditangkap oleh Ida Liana Tanjung ketika meneliti sejarah Palembang untuk tesis S2 di UGM yang selesai tahun 2006. Tahun 2019 hasil penelitiannya itu dibukukan oleh Ombak. Dalam kata pengantar bukunya itu ia menulis sebagai berikut:


"Pada awal-awal penelitian, pencarian sumber lebih banyak dilakukan di berbagai perpustakaan di Yogyakarta seperti perpustakaan Ignatius, Sonobudoyo, Hatta, Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Pusat Studi Asia Tenggara. Sangat disayangkan, sedikit sekali literatur Palembang yang dimiliki oleh perpustakaan-perpustakaan tersebut. Sebagian besar literatur akhirnya lebih banyak diperoleh dari Perpustakaan Nasional di Jakarta dan Perpustakaan Daerah Palembang. Persoalan utama yang dihadapi kemudian adalah sebagian besar buku-buku tentang Palembang lebih banyak terfokus pada sejarah perjuangan Kota Palembang, sedangkan yang mengulas tentang Kota Palembangnya sendiri sangat jarang."


Saya kira mereka benar adanya jika melihat jumlah judul buku sejarah Palembang bertema "perang", "kepahlawanan", dan "perjuangan".


Sedikitnya ada 9 judul buku bertema itu ketika Jousairi Hasbullah menerbitkan bukunya pada tahun 1996. Tentu masih perlu kajian lebih lanjut berupa perbandingan antara tema perang/kepahlawanan/perjuangan dengan tema-tema lain. Namun jika cakupan dipersempit pada bidang sejarah, maka buku-buku yang melibatkan tindakan menggunakan senjata itu memang dominan.


Dua nama yang menonjol dalam daftar buku itu ialah Asnawi Mangku Alam (Gubernur Sumatera Selatan periode 1967-1978) dan Djohan Hanafiah. Jika Asnawi cenderung menulis peristiwa perang era revolusi bersenjata, Djohan melacak hingga era kesultanan.


Dari semua judul nampak ada dua perang legendaris dalam sejarah Palembang, yakni "Perang Menteng" dan "Pertempuran Lima Hari Lima Malam". Frekuensi penerbitan buku yang paling tinggi ialah buku-buku yang memuat sejarah dua peristiwa itu.


Kesusastraan tentang perang berjudul "Syair Perang Menteng" dari era kesultanan berkali-kali direproduksi, baik sebagai monografi maupun sebagai bagian dari sebuah buku. Setiap dekade sejak 1960an hingga 2010 selalu terbit edisi baru tentang Perang Menteng atau Perang Palembang. Belum lagi bila memperhitungkan karya-karya berupa skripsi hingga disertasi yang mengupas beragam segi peristiwa itu.


Perlu diberi catatan bahwa buku awal yang memuat hasil pembacaan filologis atas naskah syair itu terbit tahun 1967, karya Atja Danasasmita. Kepakaran Drs. Atja itulah yang membuat ia terlibat sebagai salah seorang pembahas utama dalam serial diskusi untuk menyusun "Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II". Karya Mang Atja itu terbit lagi tahun 1994, di Palembang. Karya pertama tahun 1967 pasti sudah sangat langka. Saking langkanya, bahkan Google di laptop saya tidak menemukan gambar sampulnya. 








Sedangkan reproduksi kisah heroik pertempuran Lima Hari Lima Malam cukup bervariasi, karena juga berupa cerita bergambar dan berwarna, ada dua versi pula.  Generasi angkatan bersenjata memang serius menanamkan peristiwa itu sebagai memori kolektif di kalangan generasi muda. Edisi terakhir tentang peristiwa itu terbit 2012 yang lalu, oleh Dinas Sejarah Angkatan Darat.













Maka tak heran bila satu dekade setelah penerbitan buku Jousairi Hasbulah, Ida Liana Tanjung masih menemukan pola tema serupa dalam daftar pustaka sejarah Palembang. 


Bukan berarti tema semacam itu tak perlu lagi ditulis. Barangkali persoalannya adalah kejenuhan isi buku-buku semacam itu yang cenderung berupa glorifikasi tokoh dan kejayaan masa lalu atau kisah-kisah tentang 'aku yang terlibat dalam perjuangan'. Ada banyak aspek yang masih dapat ditulis terkait peristiwa-peristiwa perang di Palembang, seperti pengetahuan tentang teknologi perang serta aspek-aspek (atau dampak-dampak) sosial, budaya, ekonomi, hingga ekologi akibat perang.    


Untuk saat ini cukuplah dikatakan bahwa bukan cuma buku-buku tentang angkatan-angkatan bersenjata yang masyarakat butuhkan. Perlu pula perihal angkatan lain yang berpengetahuan mengelola kawasan gambut secara lestari dan bermanfaat bagi semua makhluk. Perihal mereka yang mengerjakan kebun-kebun tuan kebun. Para perajin logam dan kayu di guguk-guguk masa kesultanan. Hingga nelayan, bahkan para lanun yang posisinya jauh di pinggiran. Ada masih banyak lagi.











Daftar Pustaka Perang Palembang

1967

"Sjair Perang Palembang: Gelora Perlawanan Rakjat Palembang terhadap Kolonialis Belanda antara Tahun 1811-1821"

Atja Danasasmita

Museum Pusat, 1967

1980

"Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Badaredin II"

RHM. Akib

Palembang, 1980

1981

"Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II"

Tim Perumus Hasil-Hasil Diskusi Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II 

Pemprov Sumatera Selatan, 1981

1982

“Peristiwa Pengibaran Merah Putih Tanggal 6 September 1945 di Gedung Menara Air Palembang”

Team VII dari Cabang Angkatan 45

Pemkot Palembang, 1982

1983

"Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatra Selatan"

T. Ibrahim Alfian dkk

Depdikbud, 1983

“Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang”

Warnak Tohir

T.P., 1983

1985

"Perang Kota 120 Jam Rakyat Palembang"

Asnawi Mangkualam

Grafitas Offset, 1985

1986

"Perang Palembang 1819-1821:

Perang Laut Terbesar di Nusantara"

Djohan Hanafiah

Parawisata Jasa Utama, 1986

“5 Hari 5 Malam

Perang Rakyat Palembang 1947”

(Cerita Bergambar)

Asnawi Mangkualam

Aksara Baru, 1986

1987

“Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang”

(Cerita Bergambar)

Syaipul Rahman dkk

Disbudpar Kota Palembang, 1987

1989

“Kuto Besak:

Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan”

Djohan Hanafiah

CV. Haji Masagung, 1989

1992

“Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah: Perjuangan Rakyat Semesta Menegakkan Republik Indonesia di Ujung Selatan Sumatera” 

Abi Hasan Said

Yayasan Krama Yudha, 1992

1994

"Syair Perang Palembang"

Atja Danasasmita

Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan Balaputra Dewa 

1995

“Perang Palembang Melawan VOC”

Nanang S. Soetadji

& Djohan Hanafiah

Karyasari, 1995

1999

“Pasemah Sindang Merdika 1821-1866”

Kamil Mahruf dkk

Pustaka Asri & MPM, 1999

2000

“Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad 19

Berdasarkan Catatan Perang Pasemah Tahun 1866”

Millennium Publisher, 2000

2001

“Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang”

Djohan Hanafiah dkk

Pemkot Palembang, 2001

2002

"Perjuangan Mencari Ridha Tuhan

Catatan Tiga Zaman dari Balik Terali Penjara Rezim Tirani Suharto"

(Sketsa Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Selatan)

Mochtar Effendy

UNSRI Press, 2002

2003

“Kepialangan, Politik, dan Revolusi Palembang 1900-1950”

Mestika Zed

LP3ES, 2003

2009

"Syair Perang Palembang 1819"

Syaipul Rahman dkk

Disbudpar Kota Palembang, 2009

2010

"Syair Perang Menteng dalam Kajian Naskah"

Kemas A. Rachman Panji dkk

RAFAH Press, 2010

“Ikhlas Berjuang sampai Detik Terakhir

(Biografi IRP. Ahmad Lekap)

Pejuang Profesional dan Pencipta Senjata Automatis Pertama

di Masa Revolusi 17 Agustus 1945”

M. Amin Al-Wahadi

UNSRI Press, 2010

2012

“Palagan Palembang:

Pertempuran Lima Hari Lima Malam Wong Kito Galo”

Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2012




| No comment yet

Jejak Pustaka Palembang - 1 - Warisan Dapunta Hyang


Seniman Singapura bernama Zai Kuning berimajinasi tentang perjalanan suci pendiri Sriwijaya: Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Maka jadilah serial pertunjukan seni instalasi berjudul “Dapunta Hyang: Transmission of Knowledge” yang tampil di Singapura, Hong Kong, Paris, dan Venesia. 



Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com




Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com



Dua elemen utama karya Zai Kuning berupa kerangka kapal dari rangkaian rotan dan tumpukan buku sebagai simbol “transmisi pengetahuan”.


Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com





Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com



Kapal sebagai citra pelayaran atau perjalanan, sudah mafhum adanya. Sebagaimana buku yang (seolah) tak tergantikan sebagai simbol pengetahuan.

Menariknya, karya seni ini menerbitkan pertanyaan penasaran.

“Apakah buku benar-benar ada dalam perjalanan suci Dapunta Hyang?”

Buku dalam artian jilidan lelembaran kertas tempat menera aksara.

Memang problematis jika mempersoalkan artefak buku pada seni instalasi itu. Apalagi dengan niat mengoreksi imajinasi seniman dengan dalih historically correct. Padahal, Sejarah sebagai ilmu sesungguhnya sangat pekat dengan imajinasi akan masa lalu.

Jadi, kalau bersikeras ingin berperilaku seperti itu, selain kurang kerjaan, juga kurang ajar namanya. Ibarat seorang Insinyur Teknik Sipil yang hendak mengorek tapak candi menggunakan ekskavator.

Justru itulah menariknya. Sebagaimana sastra, ketika sebuah karya seni memantik pertanyaan-pertanyaan, bahkan membuat orang-orang jadi mempersoalkan kenyataan yang dianggap baku oleh orang kebanyakan; itu berarti karya seni yang berhasil, kan?

Sedangkan sang seniman pun terkekeh-kekeh menyaksikan karyanya jadi bahan silang pendapat.

Dengan kesadaran demikian, mari mulai mempersoalkan “buku” pada era Sriwijaya. Namun sebelum itu perlu terlebih dahulu memperjelas istilah khusus yang digunakan dalam catatan ini. 

Mengapa Kita Menggunakan Kata “Pustaka”

Kita mengenal istilah “buku” sebagai serapan kata boek dari bahasa Belanda dan book dari bahasa Inggris. Konteks waktu penyerapan kata itu ialah ketika penguasa kolonial sudah memperkenalkan teknologi cetak di Nusantara. Dengan demikian, istilah “buku” sejatinya mengandung bias makna sebagai produk cetak (Pendit, 2018: 6).

Lain lagi dengan istilah “kitab” dari bahasa Arab yang cenderung bermuatan religi. Masyarakat Nusantara mengenal “kitab” setelah terpapar gelombang peradaban Islam dengan aksara Arab sebagai teknologi tulisan tangan. Itulah mengapa “buku” dari masa lalu itu disebut sebagai “naskah” atau “manuskrip”, untuk membedakannya dengan produk teknologi cetak.

Untunglah masyarakat Nusantara telah menyerap satu istilah pemungkas untuk menyebut ragam bahan bacaan atau berbagai jenis media yang memuat tulisan; baik itu berupa buku, naskah kuno, kitab keagamaan, arsip kolonial, hingga dokumen digital, yaitu: “pustaka”.

Pustaka Era Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit dapat dianggap sebagai Pustaka Palembang yang pertama. Prasasti beraksara Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno ini memuat catatan tentang Dapunta Hyang melakukan siddhayātra atau pawai kemenangan penuh sukacita.


Prasasti Kedukan Bukit. Sumber gambar: www.wacana.co


Di akhir perjalanan, tepatnya pada tanggal 16 Juni 682, Dapunta Hyang membangun wanua. Tanggal tersebut menjadi acuan penetapan hari jadi Kota Palembang. Inilah mengapa Prasasti Kedukan Bukit dianggap sebagai akta kelahiran Kota Palembang.

***

Dua tahun kemudian, 684 M, Dapunta Hyang membangun Taman Sriksetra. Sebuah taman untuk kemakmuran semua makhluk. Perihal pembangunan taman ini terpahat pada Prasasti Talang Tuo.


Prasasti Talang Tuwo. Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Talang_Tuo_Inscription.jpg


R.H.M. Akib mengajukan tafsir unik perihal prasasti itu. Menurut Akib, Taman Sriksetra adalah “Taman Perpustakaan”.


Sumber gambar: Akib, R.H.M. 1956. "Batu-batu Tulisan Jang Dapat Digali di Kota Palembang dan Sekitarnja". Dalam "Kota Pelembang 1272 Tahun (684-1956) dan 50 Tahun Kotapradja (Haminte) Palembang (1906-1956)". Palembang: RHAMA Publishing House. hlm. 131.



Sumber gambar: Akib, R.H.M. 1972. "Penemuan di Palembang. Patung Budha yang Terbesar". Dalam "Buku Penemuan Hari Jadi Kota Palembang". Palembang: Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Palembang, 1973. hlm. 90.


Nampaknya Akib mengajukan tafsir itu berdasarkan teks prasasti yang memuat kata-kata “pengetahuan” dan “kecerdasan” —jika merujuk terjemahan Ronkel (1924) dan Cœdès (1930).



Sebagian sumber yang R.H.M. Akib rujuk dalam penulisan tentang Prasasti Sriwijaya di Palembang, khususnya terkait Prasasti Talang Tuwo. Sumber gambar: "Buku Penemuan Hari Jadi Kota Palembang". Palembang: Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Palembang, 1973. hlm. 100.