Jejak Pustaka Palembang - 1 - Warisan Dapunta Hyang


Seniman Singapura bernama Zai Kuning berimajinasi tentang perjalanan suci pendiri Sriwijaya: Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Maka jadilah serial pertunjukan seni instalasi berjudul “Dapunta Hyang: Transmission of Knowledge” yang tampil di Singapura, Hong Kong, Paris, dan Venesia. 



Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com




Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com



Dua elemen utama karya Zai Kuning berupa kerangka kapal dari rangkaian rotan dan tumpukan buku sebagai simbol “transmisi pengetahuan”.


Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com





Sumber gambar: https://dapuntahyang2018.wordpress.com



Kapal sebagai citra pelayaran atau perjalanan, sudah mafhum adanya. Sebagaimana buku yang (seolah) tak tergantikan sebagai simbol pengetahuan.

Menariknya, karya seni ini menerbitkan pertanyaan penasaran.

“Apakah buku benar-benar ada dalam perjalanan suci Dapunta Hyang?”

Buku dalam artian jilidan lelembaran kertas tempat menera aksara.

Memang problematis jika mempersoalkan artefak buku pada seni instalasi itu. Apalagi dengan niat mengoreksi imajinasi seniman dengan dalih historically correct. Padahal, Sejarah sebagai ilmu sesungguhnya sangat pekat dengan imajinasi akan masa lalu.

Jadi, kalau bersikeras ingin berperilaku seperti itu, selain kurang kerjaan, juga kurang ajar namanya. Ibarat seorang Insinyur Teknik Sipil yang hendak mengorek tapak candi menggunakan ekskavator.

Justru itulah menariknya. Sebagaimana sastra, ketika sebuah karya seni memantik pertanyaan-pertanyaan, bahkan membuat orang-orang jadi mempersoalkan kenyataan yang dianggap baku oleh orang kebanyakan; itu berarti karya seni yang berhasil, kan?

Sedangkan sang seniman pun terkekeh-kekeh menyaksikan karyanya jadi bahan silang pendapat.

Dengan kesadaran demikian, mari mulai mempersoalkan “buku” pada era Sriwijaya. Namun sebelum itu perlu terlebih dahulu memperjelas istilah khusus yang digunakan dalam catatan ini. 

Mengapa Kita Menggunakan Kata “Pustaka”

Kita mengenal istilah “buku” sebagai serapan kata boek dari bahasa Belanda dan book dari bahasa Inggris. Konteks waktu penyerapan kata itu ialah ketika penguasa kolonial sudah memperkenalkan teknologi cetak di Nusantara. Dengan demikian, istilah “buku” sejatinya mengandung bias makna sebagai produk cetak (Pendit, 2018: 6).

Lain lagi dengan istilah “kitab” dari bahasa Arab yang cenderung bermuatan religi. Masyarakat Nusantara mengenal “kitab” setelah terpapar gelombang peradaban Islam dengan aksara Arab sebagai teknologi tulisan tangan. Itulah mengapa “buku” dari masa lalu itu disebut sebagai “naskah” atau “manuskrip”, untuk membedakannya dengan produk teknologi cetak.

Untunglah masyarakat Nusantara telah menyerap satu istilah pemungkas untuk menyebut ragam bahan bacaan atau berbagai jenis media yang memuat tulisan; baik itu berupa buku, naskah kuno, kitab keagamaan, arsip kolonial, hingga dokumen digital, yaitu: “pustaka”.

Pustaka Era Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit dapat dianggap sebagai Pustaka Palembang yang pertama. Prasasti beraksara Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno ini memuat catatan tentang Dapunta Hyang melakukan siddhayātra atau pawai kemenangan penuh sukacita.


Prasasti Kedukan Bukit. Sumber gambar: www.wacana.co


Di akhir perjalanan, tepatnya pada tanggal 16 Juni 682, Dapunta Hyang membangun wanua. Tanggal tersebut menjadi acuan penetapan hari jadi Kota Palembang. Inilah mengapa Prasasti Kedukan Bukit dianggap sebagai akta kelahiran Kota Palembang.

***

Dua tahun kemudian, 684 M, Dapunta Hyang membangun Taman Sriksetra. Sebuah taman untuk kemakmuran semua makhluk. Perihal pembangunan taman ini terpahat pada Prasasti Talang Tuo.


Prasasti Talang Tuwo. Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Talang_Tuo_Inscription.jpg


R.H.M. Akib mengajukan tafsir unik perihal prasasti itu. Menurut Akib, Taman Sriksetra adalah “Taman Perpustakaan”.


Sumber gambar: Akib, R.H.M. 1956. "Batu-batu Tulisan Jang Dapat Digali di Kota Palembang dan Sekitarnja". Dalam "Kota Pelembang 1272 Tahun (684-1956) dan 50 Tahun Kotapradja (Haminte) Palembang (1906-1956)". Palembang: RHAMA Publishing House. hlm. 131.



Sumber gambar: Akib, R.H.M. 1972. "Penemuan di Palembang. Patung Budha yang Terbesar". Dalam "Buku Penemuan Hari Jadi Kota Palembang". Palembang: Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Palembang, 1973. hlm. 90.


Nampaknya Akib mengajukan tafsir itu berdasarkan teks prasasti yang memuat kata-kata “pengetahuan” dan “kecerdasan” —jika merujuk terjemahan Ronkel (1924) dan Cœdès (1930).



Sebagian sumber yang R.H.M. Akib rujuk dalam penulisan tentang Prasasti Sriwijaya di Palembang, khususnya terkait Prasasti Talang Tuwo. Sumber gambar: "Buku Penemuan Hari Jadi Kota Palembang". Palembang: Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Palembang, 1973. hlm. 100.



“...semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan.” 
(Dikutip dari terjemahan George Cœdès, 1989:58).


Boleh jadi muncul keraguan pada pendapat R.H.M. Akib yang menafsirkan Taman Sriksetra sebagai Taman Perpustakaan. Apalagi Akib tak menyediakan penjelasan yang memadai untuk mendukung tafsir itu.

Syukurlah ada sebuah artikel yang memuat penjelasan tentang keterkaitan konsep “taman” dan “pengetahuan” dalam peradaban Melayu Kuno. Artikel berjudul “Garden of Knowledge: From Bustan to Taman” oleh Virginia Hooker, dalam sebuah buku kumpulan tulisan persembahan kepada Ian Proudfoot yang telah mewariskan beberapa karyatama tentang penerbitan buku di kawasan Melayu.








Dalam tulisan itu, Virginia Hooker memaparkan perihal pertautan erat konsep “taman” dan “pengetahuan” dalam peradaban Melayu. Khususnya yang abadi dalam kitab-kitab seperti Bustanussalatin karya  Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dan Bustanul Katibin karya Raja Ali Haji. Pertautan itu bahkan hingga kini masih melekat pada nama-nama lembaga pendidikan seperti “Taman Siswa” dan “Taman Pendidikan Al-Qur’an”.

Tafsir R.H.M. Akib dan artikel Virginia Hooker setidaknya telah memberi petunjuk untuk kajian lebih lanjut perihal Taman Sriksetra sebagai “Taman Pengetahuan” pada masa mendatang.


***

Pada tahun 691-692, seorang biksu asal Tiongkok bernama I-Tsing menulis naskah "Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan" (南 海 寄 歸 內 法 傳) di Bukit Siguntang (Wolters, 1986: 22).


Buku "Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan” karya I-Tsing. Sumber gambar: http://history.mofcom.gov.cn


Naskah ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan “dibukukan” pada tahun 2014 dengan judul “Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan”.

Sebagai sumber penulisan sejarah, karya I-Tsing ini sebanding dengan Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi bukti tertulis tentang lokasi Sriwijaya.





Karya I-Tsing merupakan tonggak sejarah perihal penulisan menggunakan kertas di kawasan Palembang. Puluhan tahun sebelum orang-orang Arab mengenal teknik pembuatan kertas dari prajurit Tiongkok setelah pertempuran Tallas pada tahun 751 M.

Bangsa Arab yang kemudian memperkenalkan kertas kepada bangsa Eropa lewat Spanyol pada dekade akhir milenium pertama. Ratusan tahun kemudian, ulama-ulama Kesultanan Palembang menulis kitab-kitab keagamaan beraksara Arab-Melayu di atas Kertas Eropa.  


***

Beberapa contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari jejak-jejak pustaka dan keberaksaraan di Palembang pada era Sriwijaya, mengingat ada puluhan Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di kota ini.

Belum lagi jika memperhitungkan pustaka berupa lipatan lembaran kulit kayu (kaghas), bilah maupun batang bambu (gelumpai), serta tanduk kerbau yang bertuliskan Aksara Ulu di seputar kawasan Sumatera Selatan.



Kaghas atau "buku lipat" beraksara Kaganga. Sumber gambar: http://www.kaganga.com/budpar/view/kitab-berusia-400-tahun-ini-akan-diterjemahkan.html


Semua itu adalah jejak-jejak keberaksaraan di kawasan Palembang yang kemungkinan berasal dari satu tulisan yang sampai kini belum dikenal —yang mula-mulanya dikembangkan oleh para pedagang Sriwijaya (Kozok, 2009: 315).

***

Catatan ini dimulai dengan gambaran tentang karya Zai Kuning berupa tengkorak kapal dan bebuku. Seperti itulah, catatan ini hanyalah kerangka atau sketsa tentang Pustaka Palembang era Sriwijaya yang masih perlu ditelusur lebih lanjut.

Sebuah perjalanan panjang membaca warisan Dapunta Hyang.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment