The Lord of the Ring & Perpustakaan

"And some things that should not have been forgotten were lost. History became legend ... legend became myth. And for two and a half thousand years the Ring passed out of all knowledge."
[The Lord of the Ring. The Fellowship of the Ring. 00:05:29 - 00:05:46]

Tiga malam yang sangat menyenangkan menonton ulang trilogi “The Lord of the Ring”.


LOTR memang layak menjadi film sepanjang masa. Saya tidak pernah bosan menonton ulang film yang sejatinya adalah tiga jilid novel karya J. R. R. Tolkien ini.


Saya selalu tertarik mencermati penggalan dalam film yang menampilkan perpustakaan. Sebelum catatan ini saya pernah memuat fragmen dalam film “The Music Never Stopped” yang bercerita perihal seorang ayah yang jadi tahu bahwa musik dapat menyembuhkan. Hal tersebut ia ketahui setelah membaca sebuah artikel tentang hubungan antara otak dengan musik. Fragmen tersebut mirip dengan kisah dalam film “Lorenzo's Oil”.

Perpustakaan menjadi latar sekaligus lantaran para orang tua dalam dua film tersebut mengetahui metode penyembuhan untuk anak-anak mereka. Mereka jadi tahu karena membaca di perpustakaan, bukan di rumah sakit, juga bukan lantaran berkonsultasi dalam ruang praktek dokter.

Kali ini saya ingin menulis catatan kecil tentang fragmen dalam film LOTR yang menampilkan perpustakaan.

Awalnya adalah ketidaktahuan Gandalf perihal cincin milik Bilbo Baggins.



Kendati Gandalf adalah seorang yang bijaksana, ia tak punya cukup pengetahuan tentang cincin milik (the Dark Lord) Sauron yang telah menebar malapetaka bagi penghuni Middle-Earth.


Sebagaimana pengantar narator film yang saya kutip di bagian awal catatan ini, setelah ribuan tahun, sejarah tentang cincin pembawa petaka itu telah menjadi dongeng. Sehingga Boromir pun terkesima saat menyaksikan bahwa cincin tersebut ternyata benar-benar ada.


“So it’s true,” desis Boromir.


Untuk memenuhi kebutuhan informasi perihal cincin Sauron, Gandalf mencari tahu ke tempat dimana tersimpan catatan mengenai cincin tersebut. Tentu saja, kemana lagi kalau bukan perpustakaan.


Di tempat yang gelap dan berdebu itulah Gandalf mengetahui sejarah tentang cincin yang telah “hilang” dari pengetahuan umat manusia.


Setelah membaca manuskrip berisi catatan sejarah tentang Isildur, tahulah Gandalf bahwa cincin itu akan kembali menimbulkan bencana.


***

Penggalan cerita di atas hendak saya kaitkan dengan fungsi perpustakaan menurut Margaret Elizabeth Egan dan Jesse Hauk Shera sebagaimana disitir oleh Putu Laxman Pendit.


Menurut Pendit, melalui artikel berjudul "Foundations of A Theory of Bibliography", Egan dan Shera



Tidaklah terlampau sulit mengaitkan antara kata-kata kunci dalam artikel Egan dan Shera dengan fragmen LOTR di atas. Gandalf yang datang ke perpustakaan adalah contoh tentang anggota masyarakat yang memerlukan dan menggunakan pengetahuan. Sedangkan manuskrip yang Gandalf baca merupakan "alat/sarana komunikasi grafis".

Penggalan LOTR di atas juga dapat menjadi contoh mengenai kerja-kerja pustakawan yang tidak nampak, kerja-kerja yang memungkinkan Gandalf segera menemukan manuskrip berisi catatan mengenai Isildur.

Dalam kenyataan, tentu saja pustakawan telah menata koleksi perpustakaan dan membuat alat/sarana bibliografi agar pengguna dapat secara mudah menemukan apa yang mereka butuhkan. Kerja-kerja itulah yang menjadikan Gandalf, atau siapapun pengguna perpustakaan, dapat segera menemukan koleksi perpustakaan (produk pemikiran) untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan mengenai diri dan lingkungannya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment