Buku-buku Romeo dari Pontianak

Hingga angka 0880, saya baru mencatat dua entri untuk nama penerbit “Romeo Grafika” dalam buku inventarisasi koleksi perpustakaan tempat saya bekerja. Selebihnya, daftar tersebut didominasi oleh penerbit-penerbit dengan gelar Pustaka Utama, Yayasan Obor Indonesia, Tiara Wacana, LP3ES, dan penerbit-penerbit seputaran Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Kalaupun ada nama-nama penerbit di luar segi tiga kota itu, buku-buku “penerbit lokal” yang saya catat pada umumnya adalah produk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan pemerintah daerah; lembaga-lembaga yang aktivitas pokoknya bukanlah sebagai produsen bacaan untuk umum.

Romeo Grafika, lengkapnya Romeo Grafika Pontianak (RGP). Dari namanya sudah terlacak lokasinya. Kalimantan dan beberapa kota di kawasan Indonesia Tengah, sepengetahuan saya sangat jarang tercantum sebagai alamat penerbit buku-buku yang pernah saya catat, kecuali Institut Dayakologi. Apalagi penerbit dari kawasan timur Indonesia, kecuali Ende Flores.

Dua buku terbitan RGP yang tercantum dalam daftar koleksi perpustakaan saya adalah: 1) Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi; dan 2) Konflik Antarkomunitas Etnis di Sambas 1999. Suatu Tinjauan Sosial Budaya.

Merujuk pada makalah Henny Warsilah (2001) dalam Seminar Hasil Penelitian “Dunia Perbukuan dan Penerbitan di Luar Jawa” yang diselenggarakan oleh Ford Foundation dan Yayasan Adikarya IKAPI, perkembangan dunia penerbitan buku di daerah, terutama di luar Jawa, kurang berkembang dikarenakan beberapa kondisi. Beberapa temuan riset, Henny kelompokkan dalam kategori kondisi terkait faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat di daerah sebagai biang melempemnya penerbit lokal. Saya hanya mengutip tiga dari sepuluh fakta yang diajukan Henny, yakni:

1. Jumlah pengarang dan penulis di daerah masih terlalu sedikit, atau meski jumlah penulis banyak, hasil karya mereka sering ditulis dalam bentuk kumpulan puisi, prosa, cerpen, yang diterbitkan di koran-koran daerah, bukan dalam bentuk naskah buku.

2. Kebijakan ketat yang dilakukan pemerintah atau instansi untuk menyebarluaskan dokumen-dokumen penelitian yang baik dan penting.

3. Image toko buku sebagai toko peralatan sekolah dan kantor, bukan sebagai toko yang menjual hasil karya intelektual dan budayawan setempat. Akibatnya penulis harus memasarkan secara hand to hand, ini memperlihatkan tidak ada kerja sama antara penerbit, toko buku, dan pengarang.

Ada tujuh kota yang Henny jadikan lokasi penelitian, Pontianak adalah kota terakhir yang ia sambangi. Ketimbang Makassar dan Samarinda, Henny mencatat optimisme di Negeri Khatulistiwa ini. Karena di kota ini ada satu “Romeo” yang dimotori oleh seorang Haji bernama Sulaiman Ahmad. Haji Sulaiman punya peran besar dalam membangkitkan gairah intelektualitas dan perbukuan di Pontianak. Ia mendorong orang-orang yang potensial sebagai penulis (dosen dan budayawan) agar berkarya. Haji Sulaiman bahkan mengongkosi dosen-dosen yang melakukan penelitian untuk kemudian hasilnya ia terbitkan dan pasarkan.

Romeo Grafika Pontianak menjadi pabrik bahan-bahan bacaan bermuatan lokal. Cukup banyak judul buku bermuatan kajian sejarah dan budaya lokal diterbitkan oleh penerbit ini, antara lain:

1. Kumpulan Cerita Rakyat Kalimantan Barat.
2. Kamus Bahasa Melayu Sambas.
3. Taman Nasional Danau Sentarum Lahan Basah Terunik di Dunia.
4. Sejarah Pemerintahan Kesultanan dan kota Pontianak.
5. Landak di Balik Nukilan Sejarah.
6. Peristiwa Mandor: Sebuah Tragedi dan Misteri Sejarah.
7. Susur Galur Kerajaan Landak: Sejarah Perkembangan Bekas Kerajaan Landak dari Pertumbuhan Tahun 1292 hingga Restrukturisasi dan Refungsionalisasi Budaya Tahun 2000.
8. Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat.
9. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak.

Buku-buku bermuatan lokal itulah yang diangkut ke Library of Congress (LOC) di Amerika Serikat melalui kantor perwakilannya di Jakarta. Saat catatan ini ditulis, katalog online LOC memuat 30 judul buku RGP. National Library of Australia memiliki 18 judul.

Sementara, hasil penelusuran saya melalui katalog online Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) menampilkan keterangan “Data tidak ditemukan” untuk buku-buku terbitan RGP. Sedangkan Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hanya memiliki satu judul koleksi buku keluaran RGP. Bahkan katalog online Perpustakaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalimantan Barat hanya mencantumkan satu judul buku terbitan RGP. Itu pun bukan buku sejarah atau budaya, tapi buku manajemen sumber daya manusia.

Tidak mengherankan bukan bila ada ungkapan ironi bahwa orang Indonesia harus ke negeri orang untuk memahami negeri sendiri.


(Ditulis sebagai catatan Facebook pada 20 Juli 2010)





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

1 comment

The contents of this blog are more important than who I am. | 23 August 2021 at 03:13
This comment has been removed by the author.

Post a Comment