Sekanak - Sungai Rendang: Peta-Jalan Cerita "Gadis jang Dibikin Kapiran"
"Kapiran" bukan berarti "kafir", lho, ya.
"Kapiran" sama artinya dengan "telantar".
Jadi, "Gadis jang Dibikin Kapiran" sama dengan "Gadis yang ditelantarkan".
Itulah judul roman karya "Tjia & Tan".
Anak judulnya: "Satoe hal jang sampe sekarang masih diboewat seboetan dan soedah kedjadian di Palembang dalem taon 1916".
Sumber: https://kitlv-docs.library.leiden.edu/open/Metamorfoze/Sino |
Sepertinya cerita dari Palembang ini cukup diminati jika memperhitungkan pernah dicetak ulang, meski cuma sekali.
Pertama kali dicetak pada tahun 1919, oleh percetakan Thetenghoeij & Co. yang berlokasi di Bogor, meski penerbitnya berada di Gresik, yakni Boekhandel Pek Pang Ing.
Sedangkan pada cetakan kedua, tahun 1924, nampak sudah berganti kongsi, yakni oleh penerbit Boekhandel Hoa Po Kongsie yang juga di Gresik.
Sumber: https://catalog.hathitrust.org/Record/011261392 |
"Gadis jang Dibikin Kapiran" (GjDK) adalah salah satu roman karya peranakan Tionghoa yang menjadikan Kota Palembang sebagai lokasi cerita.
Selain itu, ada juga roman berjudul "Terloenta-loenta" karya Ong Siauw King, terbit tahun 1927, oleh penerbit/surat kabar Han Po yang berkantor di 16 Ilir Palembang. Ya, sebelum dibukukan, roman ini adalah feuilleton atau cerita bersambung di surat kabar Han Po.
Seri ke-14 cerita bersambung "Terloenta-loenta" dalam surat kabar Han Po yang terbit pada hari Senin, 17 Oktober 1927. |
Sumber: (Littrup, 2005: 165). http://bit.ly/3JlYF0D. |
"Terloenta-loenta" bercerita tentang seorang aktivis asal Tiongkok yang datang ke Palembang, namun bernasib merana lantaran tak dapat pekerjaan.
(Adakah yang tiba-tiba teringat pada Khouw Ah Soe dalam "Anak Semua Bangsa" karya Pramoedya?)
Tahun 1931, "Resianja Satoe Gadis: Satoe Tjerita jang Belon Sebrapa Lamanja Terdjadi di Palembang" karya Peng Hong Tjio diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie di Batavia.
Meski terbit belakangan setelah GjDK, dua roman tersebut belum berhasil saya dapatkan. Kecuali satu lagi, yakni roman berjudul "Souw Beng Nio, atawa Pembalesan boedi setjara semboeni" karya Oei yang diterbitkan di Surabaya oleh Tan's Drukkery pada tahun 1932.
Sumber: https://kitlv-docs.library.leiden.edu/open/Metamorfoze/Sino |
Baru empat judul roman karya peranakan Tionghoa era Hindia Belanda tersebut yang dapat saya identifikasi ceritanya berlokasi di Palembang. Ada kemungkinan masih ada lagi, mengingat belum semua koleksi roman karya peranakan Tionghoa dengan kode M SINO dapat diakses secara bebas.
Lebih jauh ke belakang, karya penulis peranakan Tionghoa di Palembang sebetulnya sudah muncul sejak tahun 1877 dan 1882, meski bukan berupa roman, namun ajaran-ajaran keagamaan.
Buku pertama berjudul "Yuli Baochao" atau "Tjoe In Giok Lek" atau "Kur'an Giok Lek". Buku ini merupakan terjemahan atas kitab yang populer di kalangan masyarakat Tionghoa, yakni "Yüli baochao quanshi wen" (玉歷寳鈔勸世文). Kitab berisi peringatan tentang akhirat ini memuat keterangan penerbitan di Palembang, meski dicetak di Singapura, pada tahun 1877.
Sumber: (Proudfoot, 1993: 558) https://bit.ly/3uI36yJ. |
Sedangkan buku kedua berjudul "Wenchang Dijun" terbit pada tahun 1882. Wenchang Dijun adalah nama Dewa Sastra bagi masyarakat Tionghoa. Barangkali seperti Saraswati dan Ganesha bagi penganut Hindu.
Sumber: Proudfoot, 1993: 553. https://bit.ly/3uI36yJ. |
Kedua kitab itu dicetak batu (litografi) menggunakan aksara Jawi atau Arab-Melayu. Kolofon kitab "Kur'an Giok Lek" menyebut nama Baba Kwa Tek Ye sebagai seorang penerjemah yang mukim di Kampung 4 Ulu Palembang (Proudfoot, 1993: 558). Salmon (1985: 28; 2013: 235) mencatat, sejauh pelacakannya, nama tersebut adalah penerjemah pertama kitab berbahasa Cina ke bahasa Melayu beraksara Arab di Indonesia.
Sumber: (Salmon, 1985: 9). |
Sumber: (Proudfoot, 1993: 611) https://bit.ly/3uI36yJ. |
Jika pendapat Salmon itu benar, maka warga 3-4 Ulu Palembang layak bangga, karena kampung di sebelah kiri mudik Sungai Musi ini berhak menyandang gelar ganda. Pertama, sebagai lokasi penulisan dan penerbitan Al-Qur'an cetak tertua di Nusantara; Kedua, sebagai lokasi penerjemahan dan penerbitan kitab beraksara-bahasa Cina ke bahasa Melayu (aksara Jawi) pertama di Indonesia.
Lebih lanjut Salmon menduga bahwa Baba Kwa Tek Ye (atau Koa Tek Ie alias Kwa Tiki Taka) adalah seorang Tionghoa Muslim. Selain melihat pilihan istilah-istilah koer'an dan mikraj sebagai bagian dari keterangan judul terjemahannya, dugaan Salmon kemungkinan besar benar, jika mempertimbangkan pula lokasi Kampung 3-4 Ulu yang memang pemukiman Tionghoa Muslim di Palembang. Keluarga Kiai Baba Azim Amin, pewaris Al-Qur'an Cetak Palembang 1848, adalah bagian dari komunitas Tionghoa Muslim yang selama sekian generasi bermukim di sekitar Sungai Saudagar Yuching Kampung 3-4 Ulu Palembang.
Kiai Baba Azim Amin dan Al-Qur'an Cetak Palembang 1848 yang merupakan Al-Qur'an cetak batu (litografi) tertua di Asia Tenggara. Foto: Dokumentasi Pekan Pustaka Palembang I. |
Lokasi Sungai Saudagar Yuching yang ditulis "S. Soedagar koetjing" pada peta tahun 1877. Sumber gambar: Koleksi KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:816744. |
Rupanya tidaklah mengherankan bila kitab yang sering dijumpai di kelenteng-kelenteng tersebut dicetak dalam aksara Jawi. Karena kalangan Tionghoa di Palembang pada masa lalu memang pembaca tulisan Arab-Melayu. Sehingga tak ganjil pula bila ada tulisan Arab-Melayu dalam buku silsilah keluarga Kapitan Tjoa Ham Hin, Kapitan Cina terakhir di Palembang.
Sekali lagi, adalah suatu kelaziman bila orang-orang Tionghoa era Hindia Belanda merupakan pembaca tulisan-tulisan Arab-Melayu. Mereka bahkan berperan sebagai pemilik taman bacaan yang meminjamkan naskah-naskah beraksara Arab-Melayu di berbagai kota, salah satunya adalah Palembang (Proudfoot, 1993: 22). Jangan pula melupakan Kota Mentok, Bangka, yang juga pernah punya sebuah perpustakaan milik keluarga Mayor Chung A Tiam.
Dengan kesadaran sejarah semacam itu, dapatlah kita anggap bahwa instruksi menghilangkan tulisan Arab-Melayu pada bangunan Tionghoa di Pulau Kemaro pada era orba merupakan tindakan yang ahistoris, bahkan rasis.
Sumber gambar: Dokumentasi Kiai Baba Azim Amin. |
Sebagai tambahan, koleksi antik Kemas H. Andi Syarifuddin berupa produk penerbit Kiao Pao di Palembang juga dicetak dalam aksara Arab-Melayu.
Berita tentang rencana penerbitan surat kabar Tionghoa-Melayu: Kiao Pao. Sumber: Surat Kabar Kemoedi, 15 Desember 1926. hlm. 2. |
Daftar percetakan/penerbit/toko buku di Palembang dari kalangan keturunan Arab, Bumiputra, Eropa, dan peranakan Tionghoa. Sumber gambar: Buku petunjuk telpon Palembang tahun 1939. |
Bahkan sebuah manuskrip Arab-Melayu (lagi-lagi koleksi KHAS) yang menjadi salah satu rujukan penting bagi Kiai Mal An Abdullah menulis biografi Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani pun merupakan buku tulis keluaran percetakan Ban Seng Hoeat Palembang.
Sumber: (Abdullah, 2019: 6). |
Sumber: Ikram, Achadiati (ed). 2004. "Katalog Naskah Palembang". Jakarta: YANASSA & TUFS. hlm. 255. |
Nah, sepertinya sudah cukup (melebar) uraian di atas perihal kiprah kalangan Tionghoa dalam dunia penulisan-percetakan-penerbitan di Palembang era Hindia Belanda.
***
Cerita dibuka dengan ilustrasi situasi sore pukul lima lewat tiga, ketika para pegawai Borsumij pulang kerja.
Deskripsi lokasi perusahaan Borneo-Sumatra Handel Maatschappij (Borsumij) benar-benar sesuai dengan kenyataan. Hal ini dapat diperiksa pada peta dan foto-foto era Hindia Belanda.
Namun, sebelum lebih jauh menjelajahi lokasi cerita, mari kupas terlebih dahulu judul bab pertama roman, yakni: "Nji Marian dan Nji Roen".
"Nji" tersebut adalah "Nyai". Akan tetapi, sebutan itu tidaklah sama dengan "Nyai" yang merupakan panggilan kepada "Nenek" bagi orang Palembang. "Nji" atau "Nyai" dalam roman ini adalah sebutan untuk seorang gundik pada era Hindia Belanda.
Ya, sejak awal sudah nampak bahwa cerita GjDK merupakan bagian dari tema umum tentang pernyaian dalam roman-roman karya peranakan Tionghoa. Karena itulah pada paragraf pertama pengantar penulis menyapa "pembatja jang moelja" dengan peringatan:
"...ini tjerita tjoemah terbatja oleh orang-orang jang telah dewasa sadja, jaitoe; jang boekan djadi ANAK ANAK lagi."
Bagian pengantar yang kental dengan pesan moral itu juga memuat sinopsis cerita, sebagaimana dapat dibaca pada penggalan di bawah ini.
Sebelum mengakhiri bagian "permoelaian", penulis kembali mengajukan pemakluman isi cerita yang akan ditemui oleh pembaca.
"Lantaran itoe djadi njata bagi pembatja jang kita soedah karang ini tjerita boekan memandang sadja pada kaoentoengan. Biarpoen isinja sebagian ada menoetoerken perkara jang koerang pantas, tapi toch tida bisa disangkal ada mengandoeng satoe maksoed jang soetji."
Baiklah, kita sudahi saja basa-basi dari penulis GjDK yang barangkali bernada akrab bagi pembaca fiksi populer ala roman Medan. Catatan ini tak akan mengupas GjDK dari segi isi atau jalan ceritanya, akan tetapi mengeksplorasi lokasi yang tak biasa ditemui, yakni situasi Kota Palembang awal abad XX.
Kembali ke kantor Borsumij yang berada di Pasarstraat 16 Ilir tepatnya pada sudut pertemuan muara Sungai Rendang dengan Sungai Musi.
Inilah posisinya berdasarkan peta tahun 1922.
Silakan bandingkan dengan tampilan berdasarkan Peta Google di bawah ini.
Inilah penampakan Pasarstraat atau kini menjadi Jalan Pasar 16 yang dipotret dari kelokan depan kantor Borsumij pada tahun 1920-an.
Pasarstraat dari kelokan depan kantor Borsumij. Sumber: Koleksi KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:896767 |
Silakan bandingkan tampilan jalan serta bangunan pada lokasi yang sama berdasarkan foto tahun 1920-an itu dengan potret dari Peta Google tahun 2019 ini.
Jl Pasar 16 di antara jembatan Sungai Rendang dan bekas kantor Borsumij. Sumber: Peta Google, https://bit.ly/3HVJlY8. |
Foto tahun 1920-an. Digunting dari koleksi KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:896767. |
Sumber: Foto Peta Google tahun 2019, https://bit.ly/3HVJlY8. |
N.V. Borsumij adalah salah satu dari lima perusahaan dagang berskala godzilla pada era Hindia Belanda. Embrionya adalah skenario ekspansi kapital lewat pendirian sebuah firma pada tahun kematian Karl Marx. Karena sirkuit modal perlu diperluas tak hanya di Pulau Jawa, maka perusahaan dagang –titisan VOC– Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) bertransformasi jadi lembaga yang berfokus pada usaha perbankan –yang berarti menjadi pengurus perputaran modal di Hindia Belanda. Seorang agen NHM bernama J.H. Schlimmer mewarisi kantor usaha NHM di Banjarmasin. Berbekal modal awal itulah Schlimmer mendirikan sebuah perkongsian bernama Schlimmer & Co. pada tahun 1883. Usaha Schlimmer dan rekanan itu kemudian meraksasa, sebagaimana nama dua pulau besar di Nusantara, setelah menjadi Borneo-Sumatra Handel Maatschappij pada 31 Maret 1894.
Dengan kantor pusat di Den Haag, Borsumij menggurita di sekujur Hindia Belanda. Editor buku "Arsip Ekonomi Belanda dan Koloninya" mencatat (secara agak berlebihan) bahwa pada tahun 1920, di seluruh kepulauan Nusantara (minus Papua), tak ada lagi tempat di mana Borsumij tak punya cabang.
Kantor Pusat Borsumij di Den Haag. Sumber: Buku "Arsip Ekonomi Belanda dan Koloninya", https://bit.ly/352QzuM. |
Kembali ke Jl. Pasar 16 Ilir, inilah foto kantor Borsumij cabang Palembang pada tahun 1920-an
Foto para pekerja di depan kantor Borsumij di Pasarstraat 16 Ilir Palembang tahun 1920-an. Sumber: Koleksi KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:899140. |
Silakan bandingkan dengan fasad bangunan bekas kantor Borsumij berdasar foto dari Peta Google tahun 2019 ini.
Balik lagi ke cerita GjDK, halaman 19 memuat gambaran tentang situasi kawasan sepanjang jalan raya 16 Ilir pada malam hari.
Perihal jejalan di Palembang yang sudah diperkeras dan layak dilalui oleh mobil, terlihat pada penggalan peta tahun 1922 yang disusun berdasarkan data tahun 1914-1915 di bawah ini.
Keterangan gambar berbagai jenis jalan pada legenda peta 1922. |
Ruas jalan berwarna merah dengan titik-titik putih adalah jalan raya yang sudah diperkeras dengan lebar lebih dari 4 meter. |
Ruas jalan berwarna merah dengan titik-titik putih adalah jalan raya yang sudah diperkeras dengan lebar lebih dari 4 meter. |
Dengan lebar lebih dari 4 meter, Pasarstraat 16 Ilir menjadi lalu-lintas yang ramai pejalan kaki serta pengendara sepeda dan mobil . Sehingga perlu ada polantas yang bertugas di jalan raya ini.
Nampak seorang polisi menggunakan topi sedang berjalan di Pasarstraat 16 Ilir. Foto diperkirakan pada awal 1900-an. Sumber: Koleksi KITLV, http://hdl.handle.net/1887.1/item:784011. |
Nampak semacam payung di muka Pasarstraat 16 Ilir yang menjadi tempat polantas bertugas. Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl. |
Tampak muka Pasarstraat 16 Ilir dengan fokus tempat polantas bertugas. |
Tampak muka Jl. Pasar 16 berdasarkan Peta Google tahun 2021. Jika dibandingkan dengan foto-foto lama di atas, terlihat ada perubahan fasad bangunan. |
Tampak muka Jl. Pasar 16 berdasarkan Peta Google tahun 2015, https://bit.ly/33vuyV8. |
Sumber: (Hanafiah, 1988: 110) |
Sumber: (Hanafiah, 1988: 111 & 113). |
Iklan pertunjukan teater bangsawan (opera) Soei Ban Lian di Batavia. Sumber: Surat kabar Sin Po, 10 April 1920. |
Roman GjDK, hlm. 20. Keterangan istilah: eigenares = direktris; dipacht = dikontrak.. |
Ilustrasi lanskap Keraton Palembang. Sumber: Hanafiah, 1989: 17. |
Sumber: Irwanto, 2010: 41. |
Sumber: Irwanto, 2010: 129. |
Bangunan societeit di Palembang. Foto tahun 1920. Sumber: Koleksi Tropenmuseum, https://bit.ly/3sXxUJr. |
Lokasi bangunan societeit berdasarkan peta tahun 1922. Nampak tak ada perubahan lokasi bangunan societeit sejak dekade 1870-an. |
Lokasi bangunan societeit berdasarkan peta tahun 1930. Nampak perubahan letak societeit berdasarkan bangunan baru yang diresmikan pada 8 Desember 1927 (https://bit.ly/3v5XtKH). |
Sumber: Surat kabar Kemoedi, 1 November 1926. |
Halaman 32. |
Ilustrasi Langtjia. Sumber: Hanafiah, Djohan. 1988. "Palembang Zaman Bari: Citra Palembang Tempo Doeloe". Palembang: Humas Pemkot. hlm. 44. |
Sumber: Nio Joe Lan, 1940: 181. |
Sumber: Han Po, 4 Agustus 1927. |
Reply to this post
Post a Comment