Jejak-jejak Dokumentasi

 


Membaca buku “Menuju Era Baru Dokumentasi” karya Blasius Sudarsono membuat saya menimbang kembali istilah “dokumentasi”.




"Dokumentasi", selama ini bagi saya sebatas istilah generik untuk menyebut tindakan-tindakan seperti mencatat, memotret, merekam, menyimpan, atau mengabadikan. Selain sebagai kata kerja, dokumentasi juga sekaligus kata benda yang wujudnya dapat berupa notula, album foto, rekaman audio/visual, dan lain sebagainya.


Batasan dokumentasi yang saya ketahui sebelum membaca buku ini menunjukkan adanya sekat pengetahuan saya sebagai “orang perpustakaan” terhadap bidang dokumentasi, sebagaimana juga terhadap kearsipan dan permuseuman yang juga ada ilmunya.


Pengantar Pembuka


Kata pengantar editor buku ini, Musiana Yudhawasthi, menunjukkan bahwa sekat antarbidang tersebut lebur ketika ia bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah yang mengajak murid-muridnya ke lembaga-lembaga pengelola objek-objek belajar mereka, yakni perpustakaan, lembaga arsip, museum, galeri, kebun raya dan kebun binatang, serta taman tematik.


Mengenai pengalaman tersebut Yudhawasthi mencatat sebagai berikut:


“Saya ingin memperlihatkan bahwa dalam membangun kecerdasan siswa, lembaga pemilik informasi tidak dapat dilihat secara terpisah, semua data saling terhubung. Kemampuan siswa yang tertinggi adalah ketika mampu merangkai data yang tersebar menjadi rangkaian informasi yang bermakna dan menjadi pengetahuan dalam hidupnya. Di sinilah saya mulai menyadari kebutuhan kolaborasi antarlembaga dan kemampuan para pengelola setiap lembaga memaknai value informasi yang dimiliki. Penghargaan terhadap value tersebut akan menghasilkan kumpulan data yang tak ternilai harganya.” (hlm. xv)


Catatan editor yang berlatar belakang pendidikan sarjana di bidang Ilmu Perpustakaan ini membuat saya berpikir bahwa peluang menyingkap sekat antarbidang tersebut kemungkinannya kecil bila ia menjadi praktisi di salah satu lembaga yang ia sebutkan. Peluang itu terbuka ketika ia bekerja sebagai guru. Profesi yang memiliki kedekatan makna dengan akar kata “dokumen” (Inggris: document) sebagai kata dasar istilah dokumentasi (documentation). Merujuk kamus etimologi daring bahasa Inggris, kata “dokumen” berarti “mengajar” atau “pelajaran” yang menggunakan contoh/bukti/bahan tertulis.[1]


Bagian pengantar ini menunjukkan jejak pengaruh Blasius Sudarsono (BS) bagi editor. Pada bagian selanjutnya nampak jejak-jejak perjalanan BS menjelajahi semesta gagasan dokumentasi.


Jejak-jejak


Jejak pertama adalah surat-surat pada bulan Mei sampai Juli 1973 yang tercantum nama Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN). Pada titimangsa itu BS mulai mengajukan pertanyaan, “Apa perbedaan antara dokumentasi dan perpustakaan?”


Pertanyaan tersebut mencerminkan konteks polemik pembedaan (diferensiasi) dokumentasi-perpustakaan atau dokumentalis-pustakawan. Polemik yang bermula di Eropa dan Amerika Serikat[2] selama beberapa dekade usai Perang Dunia II ternyata juga menjalar ke Indonesia. Gejala itu dapat dibaca dalam pengakuan BS sebagai berikut:


“Waktu itu saya sudah mendengar perdebatan atau—bisa dikatakan—kontradiksi antara perpustakaan dan dokumentasi.” (hlm. 2)


“Waktu saya mulai bekerja sebagai staf perpustakaan pada 1973, di dalam lembaga saja sering terdengar perbedaan sikap antara mereka yang menyebut dirinya dokumentalis dan pustakawan.” (hlm. 97)


Pertentangan tersebut tak mengemuka di Indonesia karena diferensiasi secara konseptual (dokumentasi-perpustakaan) dan profesional (dokumentalis-pustakawan) mengalami jeda setelah pendirian Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) pada 6 Juli 1973. IPI adalah leburan tiga organisasi: Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI); Asosiasi Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Indonesia (APADI); serta Perhimpunan Pustakawan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY).


HPCI merupakan asosiasi bagi mereka yang menyebut dirinya “dokumentalis”. Sejak 1973 sampai buku ini terbit, belum muncul organisasi yang mengklaim sebagai perhimpunan dokumentalis. Sedangkan untuk bidang kearsipan sudah berdiri dua organisasi, yakni Asosiasi Profesi Kearsipan Indonesia (APKI) dan Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI).[3]


Perdebatan yang BS dengar pada masa awal bekerja di PDIN, sejak 1 Agustus 1973, menunjukkan bahwa diferensiasi antara dua bidang ini termanifestasi dalam praktik. Jika ke-chusus-an HPCI dianggap sebagai jejak, maka dapat diduga bahwa ‘praktik dokumentasi’ tetap terjadi di perpustakaan-perpustakaan khusus, lebih khusus lagi yang melayani komunitas peneliti. Gejala diferensiasi dalam praktik juga dapat diidentifikasi berdasarkan perbedaan lembaga induk yang menaungi perpustakaan, apakah itu lembaga pemerintah atau swasta.[4]


Gambaran perihal pertentangan itu BS beri label “Kontradiksi Dokumentasi dengan Perpustakaan” (hlm. 168). Sedangkan kemunculan retakan pemikiran tentang dua bidang tersebut BS tandai sebagai titik awal penjelajahannya membangun makna dokumentasi selama empat dasawarsa.


***


Bab IX yang berjudul “Logika Dokumentasi” menjadi inti buku ini. Logika Dokumentasi BS ajukan sebagai kerangka berpikir untuk memaknai konsep dokumentasi. Pada bagian pembuka bab logika dokumentasi ini BS menulis sebagai berikut:


“Bab ini berisi pemikiran mendasar tentang pemaknaan dokumentasi. Sebelum membahasnya, terlebih dulu diuraikan pola dasar berpikir yang digunakan ...” (hlm. 149)


Saya memetik frasa “pemikiran mendasar” dan “pola dasar berpikir” dari kutipan di atas. Frasa-frasa dalam tanda petik itu saya anggap penting karena bab ini memuat istilah-istilah yang memperlihatkan endapan struktur fondasi ilmu pasti, khususnya Matematika dan Fisika, yang mendasari bangunan gagasan BS.


Pola dasar berpikir itu BS gambarkan lewat konsep “triadic” dengan ilustrasi geometris berupa segitiga sama sisi. BS mengaku bahwa pola bangunan serba tiga ini merupakan hasil diskusinya dengan seorang ahli fisika pada awal dasawarsa 1980 (hlm. 150-151). Pada halaman yang sama, BS menggunakan “ekspresi matematis” berupa notasi “x-y-z-t” untuk memberi sifat dinamis pada gagasannya. Notasi itu biasa digunakan dalam bidang kinematika atau geometri gerak. Sedangkan pada bagian lain BS menggunakan istilah “ekstrapolasi” yang lazim dalam bidang Matematika.


Lantaran kekhasan itulah saya mengidentifikasi dua kesamaan antara Blasius Sudarsono dan Albert Einstein. Pertama, mereka berdua sama-sama berlatar pendidikan Ilmu Fisika. Kedua, dalam memperkenalkan (kembali) konsep dokumentasi, BS menggunakan cara seperti Einstein.


Perihal cara Einstein ini, Frohmann (2008) menulis sebagai berikut:


“But if we want to extend documentation to new situations – if we want to multiply the concept of the document – we can (like Einstein) tell a story and how to apply it, and connect our extensions to theories, arguments and relevant intellectual resources to try to bring about an enlarged understanding of what documents and documentation can be.” [5] 


Secara keseluruhan isi buku ini menunjukkan pola atau cara Einstein tersebut. BS memulainya dengan cerita tentang pengalamannya menjelajahi gagasan dokumentasi. Hampir seluruh bagian buku ini sebetulnya berisi cerita dengan perspektif orang pertama, yakni dengan menggunakan subyek “saya”. BS bercerita cukup panjang dalam Bab I (Pendahuluan) dan Bab V (Dokumentasi yang Terlupakan).


BS juga memaparkan perkembangan Ilmu Dokumentasi di berbagai negara, memperkenalkan tokoh-tokoh ilmuwan dokumentasi beserta gagasan-gagasan dan senarai karya-karya mereka sebagai sumber-sumber otoritatif dalam rangka pembobotan istilah dokumentasi dalam buku ini. “Cara Einstein” ini tersebar dalam Bab III (Kelahiran Dokumentasi di Eropa), Bab VI (Gerakan Dokumentalis Baru (Neo-Documentalist)), Bab VII (Fokus pada Dokumen), Bab VIII (Konvergensi Lembaga Dokumenter), dan Bab XII (Bibliografi Kronologis Literatur Asing tentang Dokumentasi).

***

Bab IV (Awal Dokumentasi di Indonesia) memuat penjabaran tentang “tonggak-tonggak perjalanan dokumentasi di Indonesia”. Tonggak yang bermula pada tahun 1950 ketika Indonesia menjadi anggota Federation Internationale de Documentation (FID) dan berakhir pada 2002 ketika FID pupus setelah melebur ke dalam Union of International Associations (UIA).[6] Bab ini juga membahas jejak-jejak pemakaian dan pemaknaan istilah dokumentasi di Indonesia. Pembahasan ini merujuk pasal-pasal beserta penjelasannya dalam dua regulasi yang mengatur instansi-instansi pemerintah terkait dokumentasi/perpustakaan, yakni Undang-Undang No. 6 Tahun 1956 tentang “Pembentukan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI)” dan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1961 tentang “Tugas-Kewajiban dan Lapangan Pekerjaan Dokumentasi dan Perpustakaan dalam Lingkungan Pemerintah”.


Bab X (Rangkaian Diagram Pemikiran) berisi 17 diagram pemikiran yang menggambarkan pola berpikir BS memahami dan membangun konsep dokumentasi. Rangkuman pemikiran BS mengenai konsep dokumentasi tergambar pada Diagram 16 yang ia beri label “Semesta Dokumentasi” (hlm. 184).



Penutup


Jejak-jejak memuat dua kemungkinan dalam mengarahkan perjalanan, yaitu ke masa lalu sekaligus menuju ke masa depan. Jika isi sebelas bab buku MEBD yang sudah dibahas secara sekilas di atas lebih banyak perihal masa lalu, maka pada bab terakhir BS mengusulkan jejak-jejak baru di masa depan, yaitu penyelenggaraan Kolokium Dokumentasi dan pembentukan Konsorsium Ilmu Dokumentasi. Dua usulan itu BS ajukan untuk mengekstrapolasi terwujudnya Ilmu Dokumentasi di Indonesia.


###


[1] Sila telusur lewat www.etymonline.com/search?q=document. Lihat juga: Sulistyo-Basuki. “Istilah Dokumentasi”. https://sulistyobasuki.wordpress.com/2014/02/25/istilah-dokumentasi.  


[2] Eugene Garfield. “Librarian versus Documentalist”. www.garfield.library.upenn.edu/papers/librarianvsdocumentalisty1953.html;


Mark D. Bowles. “The Information Wars: Two Cultures and the Conflict in Information Retrieval, 1945–1999”. http://webdoc.gwdg.de/ebook/s/2001/chf/www.chemheritage.org/historicalservices/asis_documents/asis98_bowles.pdf. 


[3] Rusidi. “Benarkah APKI Telah Mati?” http://bpad.jogjaprov.go.id/public/article/151/48f60b0a5acdda83b9779ad0dbba3855.pdf.


[4] Putu Pendit. “Otonomi Pustakawan”. http://eprints.rclis.org/9435/1/otonomi_pustakawan-putu.pdf. hlm. 9.


[5] Bernd Frohmann. Revisiting “what is a document?” https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.476.7862&rep=rep1&type=pdf


[6] Tentang UIA lihat di www.uia.org/history.

*************************************

Catatan tentang catatan:

Postingan ini merupakan dokumentasi atas catatan di Facebook pada 21 Januari 2017. Dimuat ulang di blog ini karena sayang kalau hilang, mengingat Facebook sudah menghapus fitur 'Notes', sehingga catatan itu tak dapat diakses lagi jika menggunakan ponsel, kecuali menggunakan laptop/PC. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment