Novel Gramberg, Naskah Palembang, & Cap Sultan

 


“Nah, bawa apa Raden Rasip?” tanya sultan dengan roman risih lantaran konsentrasinya buyar oleh kehadiran seseorang.


Pria muda itu mendekat dengan percaya diri, sembari membungkuk ia menyerahkan sebuah naskah yang agak tebal dan berkata, "Patik telah menyelesaikan tugas pagi ini dan berharap Sultan akan senang."


Sultan Mahmud dengan penuh semangat menerima naskah. Itu adalah karyanya, gagasannya sendiri, berjudul, "Petualangan Bangsawan Portugis Signor Kasto." Raden Rasip telah menulisnya pada halaman-halaman bergaris dan menghiasi halaman awal dengan kaligrafi yang rapi serta berwarna.


Dengan gembira Sultan Mahmud membuka naskah itu, kemudian menyenandungkan sebuah bait untuk meyakinkan diri apakah rimanya sempurna; karena karya ini, sebagaimana kebanyakan prosa Melayu, berupa syair, atau cerita dalam syair empat baris yang dibaca dengan irama tertentu.


“Sekarang, coba terka! Kau telah memberiku kesenangan besar dengan kerja kerasmu. Tidakkah menurutmu syair ini yang terbaik dari karyaku?”


"Oh ya, Yang Mulia," kata sang juru tulis sambil tertawa sopan, “Cerita tentang Raja Martalaya juga bagus. Sudah banyak dibaca di kota ini, patik bahkan sudah diminta membuat salinan untuk beberapa orang di Malaka."


Dalam sekejap sultan seolah terobati dari pengalaman tak menyenangkan pagi itu. Dengan riang ia berucap, “Aku senang mendengarnya dan dengan senang hati aku akan menghargai ketekunanmu. Tapi tunggu, aku punya satu pekerjaan menulis untukmu. Jadi duduklah di meja tulismu di sana dan siapkan piagem untuk Kampung Rantau beserta tanah dan hutannya. Aku ingin menempatkan seorang raban di sana. ”


Raden Rasip memenuhi keinginan sang sultan. Tak lama kemudian piagem sudah siap, kecuali bagian untuk nama dan cap yang masih kosong.


"Nama siapa yang hendak Yang Mulia cantumkan pada piagem ini?" tanya Raden Rasip.


"Serahkan itu padaku. Ambil cap dan stempelkan pada bagian itu," jawab sultan.


Sang juru tulis secara khidmat menyerahkan naskah piagem.


“Berikan kalammu sekarang!”


Setelah memegang kalam, sultan menulis nama Raden Rasip di piagem dengan tulisan yang bersih dan indah, kemudian dengan tatapan tegas ia kembalikan kepada juru tulisnya.


Raden Rasip tertegun, tak sepatah kata dapat ia ucapkan.


"Apakah kau senang, wahai temanku?" tanya sultan ramah.


Sejurus kemudian pemuda itu bersimpuh di hadapan sultan demi menghaturkan rasa terima kasih yang tak terucapkan.


Jika sultan dapat menjatuhkan hukuman tanpa ampun, ia juga tahu bagaimana memberi hadiah.


***


Fragmen dialog di atas merupakan nukilan dari sebuah novel berbahasa Belanda yang saya terjemahkan secara nekat dengan bantuan Google.


Novel itu berjudul "Palembang: Historisch-Romantische Schets uit de Geschiedenis van Sumatra". 



Ya, ini semacam novel sejarah. Karya seorang dokter militer yang berminat besar pada bidang budaya serta gemar menulis, namanya J.S.G. Gramberg. Novel sejarah "Palembang" ini terbit di Batavia (dan mungkin juga di Haarlem, Belanda) oleh penerbit H.M. Van Dorp & Co. pada tahun 1878.

Sebelum novel itu terbit, Gramberg sudah punya dua karya tulis terkait Keresidenan Palembang. 

Pertama ialah sebuah buklet setebal 55 halaman berjudul "De inlijving van het landschap Pasoemah". Buku kecil yang terbit pada tahun 1865 ini Gramberg tulis sebagai bahan rujukan untuk ekspedisi militer kolonial Belanda ke dataran tinggi Pasoemah Sindang Merdika.    


Pada bagian pengantar, Gramberg menulis sebagai berikut:

Buku yang saya persembahkan kepada publik ini sebenarnya merupakan penggalan dari sebuah karya yang lebih besar yang belum selesai mengenai lanskap Palembang. Namun, karena akan dilakukan ekspedisi ke Pasoemah untuk memasukkan kawasan itu ke dalam wilayah kekuasaan kita, saya tidak menganggap tidak pantas untuk memublikasikan beberapa halaman ini. Beberapa perubahan, bagaimanapun, sekarang harus dilakukan, karena pada awalnya dimaksudkan untuk mengajukan argumentasi perihal perlunya pengambilalihan kawasan Pasoemah. Tapi perdebatan itu kini tak lagi diperlukan, karena pemerintah memang sudah sepatutnya menyepakati pendapat ini.

...............(paragraf 2)....................

Penulis 

Palembang, Maret 1865


Namun pada bagian akhir, ia menambahkan catatan ringkas bernada jengkel sebagai berikut:

"Setelah brosur ini dicetak, kabar tak terduga datang bahwa ekspedisi ke kawasan Pasoemah telah ditunda untuk sementara waktu!"

Penulis

Palembang, Mei 1865

Kejengkelan itu muncul lantaran, sebagaimana terbaca pada kata pengantarnya, pertama-tama ia menulis buklet tersebut untuk terlibat dalam polemik perihal perlu tidaknya Belanda menurunkan kekuatan militer untuk menegakkan 'rust en orde' di kawasan Pasoemah. Menurut Frieda Amran (2015), ketika itu sebagian kalangan, termasuk P.L. Van Bloemen Waanders yang sedang menjabat sebagai Residen Palembang, merasa optimis bahwa penduduk Pasoemah dapat ditaklukkan lewat cara diplomasi. Akan tetapi, ada banyak juga yang berpendapat bahwa hanya senjata yang dapat membuat orang Pasoemah tunduk pada kekuasaan Belanda. Gramberg termasuk ke dalam kubu yang menganjurkan campur-tangan militer. 

Akan tetapi, waktu buklet itu belum selesai ia tulis, berpolemik seolah-olah tak lagi relevan karena pejabat Hindia Belanda di Palembang sudah mengambil keputusan menyerang Pasoemah dan beberapa kapal serdadu kolonial sudah berangkat dari Pelabuhan Batavia menuju Palembang. Oleh karena itulah Gramberg menyesuaikan tulisannya supaya dapat menjadi rujukan untuk ekspedisi militer. Sikap Gramberg itulah yang membuat Djohan Hanafiah (seolah-olah) menempatkan ia sebagai otak di balik aneksasi Pasoemah, sebagaimana dengan segera dapat mengingatkan kita pada Snouck Hurgronje dalam Perang Aceh.


Ulasan khusus mengenai isi buku Gramberg sebagai bekal untuk aneksasi Pasoemah sudah diurai secara sangat menarik oleh Frieda Amran; berupa serial artikel setiap Minggu dalam rubrik "Palembang Tempo Doeloe", pada halaman 5 surat kabar Berita Pagi, sejak 22 Februari 2015 hingga 19 April 2015.



Tulisan ke-2 Gramberg berisi uraian tentang empat kelompok masyarakat di kawasan Uluan Palembang, yakni artikel berjudul "Schets der Kesam, Semendo, Makakauw en Blalauw". Saya menduga, sejatinya tulisan tentang Pasoemah yang ia jadikan brosur itu adalah bagian awal dari artikel ke-2 ini, mengingat Pasoemah adalah hulu bagi keempat kelompok masyarakat yang ia jadikan artikel untuk TBG yang diterbitkan oleh BGKW pada tahun 1866.


Sebagaimana tulisan pertama, tulisan kedua ini juga dapat disimak syarahnya dalam Berita Pagi, sejak edisi Minggu 26 April 2015 hingga 31 Mei 2015.    



***

Kembali ke fragmen dialog antara Sultan Mahmud dengan juru tulisnya yang dalam novel itu bernama Raden Rasip. Sebagaimana Sultan Mahmud yang adalah sosok historis, juru tulis ini juga dapat dikonfirmasi namanya dalam buku karya R.H.M. Akib (1980: 51) yang menyebutkan bahwa Raden Rasip adalah penulis "Syair Perang Menteng". 

Sumber: Akib, R.H.M. 1980. "Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Badaredin II". Palembang: tanpa penerbit. hlm. 51.

Meski tentu saja dialog dalam novel Gramberg tersebut fiktif belaka. 

Gramberg menyisipkan dialog itu tidaklah tanpa preseden. Dua belas tahun sebelumnya, ketika masih bekerja di Palembang, ia pernah menghibahkan beberapa buah naskah Palembang ke perpustakaan milik perkumpulan masyarakat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di Batavia atau Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 

Dalam proses berpindah tangan dari Palembang ke Batavia itulah ia memberi keterangan bahwa naskah-naskah tersebut merupakan bahan bacaan populer di tengah masyarakat Palembang. 

Sumber: Drewes, G. W. J. 1977. “Directions for Travellers on the Mystic Path". The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 200.
Judul-judul naskah hibah itu antara lain:

1. Hikayat Martalaya, karangan Sultan Mahmud Badaruddin.
2. Hikayat Raja Budak.
3. Syair Kumbang.
4. Syair Nuri, gubahan Sultan Mahmud Badaruddin;
5. Syair Patut Delapan, gubahan Pangeran Panembahan Bupati, adinda Sultan Mahmud Badaruddin.
6. Syair Kembang Air Mawar, gubahan Pangeran Panembahan Bupati.
7. Syair Perang Menteng.
8. Pantun Sultan Badaruddin.

Sumber: Iskandar, Teuku. 1996. "Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad". Jakarta: Libra. hlm. 433.
Nampaklah bahwa naskah-naskah yang Gramberg anggap bacaan populer bagi masyarakat Palembang saat itu adalah karya-karya sastra yang dihasilkan di dalam istana. Bila membaca dialog fiktif di atas, dapat saja serta-merta disimpulkan bahwa budaya membaca naskah sastra itu sudah cukup luas di luar dinding istana ketika Sultan Mahmud Badaruddin II masih bertakhta. Sedangkan Gramberg memperoleh naskah-naskah itu pastilah dalam rentang antara 1863-1867 ketika berada di Palembang. 

Dari situ terlihat bahwa butuh waktu sekitar empat puluh tahun sejak serdadu kolonial menduduki Benteng-Keraton Kuto Besak pada 1821, ketika koleksi perpustakaan keluar dari tembok benteng; lantas tersebar ke tengah masyarakat sehingga memperluas budaya naskah di luar lingkaran istana. Naskah-naskah hibah ke Batavia adalah petunjuk faktual tentang fenomena itu.

Sebagaimana roman sejarah yang terkesan seperti "Satoe hal jang soedah kedjadian di .... dalem taon ....", fragmen dialog antara Sultan Mahmud dengan Raden Rasip itu juga mengandung imajinasi yang dapat diperiksa lebih lanjut. Khususnya adegan Sultan meminta dibuatkan "piagem" dan diambilkan "cap".

Agak aneh sebetulnya, karena adegan itu membayangkan Raden Rasip menulis "piagem" menggunakan kalam alias pena zaman dulu yang bisa berupa setangkai bulu unggas atau potongan batang pakis. Sehingga pastilah ia menulis itu di atas sehelai kertas. Tambah aneh lagi ketika kemudian sultan meminta juru tulisnya membubuhkan cap pada "piagem" yang sudah ditulis.

Piagem Kesultanan Palembang untuk pemimpin masyarakat adat di kawasan Uluan Palembang.
Sumber gambar: Foto Titet Fauzi Rachmawan dalam www.kompas.id

"Piagem" adalah surat mandat kekuasaan dari sultan kepada para 'pasirah' atau pemimpin di kawasan Uluan Palembang. Pada umumnya, "piagem" cenderung menyerupai prasasti karena biasanya ditulis di atas lempengan logam, sehingga jauh lebih awet ketimbang kertas. Saya kurang yakin Gramberg tidak mengetahui perihal itu, mengingat proses pengumpulan "piagem-piagem" sudah dilakukan pada era kepemimpinan Residen C.A. de Brauw (1851-1855) untuk kepentingan menyusun naskah Oendang-Oendang Simboer Tjahaja versi kolonial.       

Tapi saya kira sah saja Gramberg berimajinasi semacam itu demi menulis cerita. Apalagi dia juga dengan tepat menyebut istilah "tjap" yang memang istilah asali yang kemudian berubah menjadi "stempel" karena pengaruh bahasa Belanda. 


Silakan periksa lewat situs indeks naskah-naskah melayu; https://mcp.anu.edu.au/Q/searches.html; niscaya Anda akan menemukan ratusan kata "cap" yang digunakan dalam puluhan naskah melayu. Sedangkan kata "stempel" nihil temuan.


Daftar naskah yang memuat kata "cap".

Tak satupun naskah yang memuat kata "stempel".

Itulah kenapa Annabel Gallop mempertahankan penggunaan istilah "cap" ketimbang "stempel".

Sumber gambar: bit.ly/3Ktm5lm

Dari Gallop pula dapat kita ketahui bahwa untuk menghasilkan tampilan cap pada permukaan kertas, biasanya digunakan jelaga atau tinta (atau lilin). 

Sumber gambar: bit.ly/3tK84Jj
Sehingga cukup sulit membayangkan cap berbalut jelaga atau berlumur tinta dibubuhkan pada permukaan lempengan logam. 

Sumber: Gallop, Annabel Teh. 2019. "Malay Seals: from the Islamic World of Southeast Asia". Jakarta: Yayasan Lontar. hlm. 264.

Sekali lagi, sah-sah saja bagi Gramberg menuliskan imajinasinya. Karena kalau terlalu ketat, ya bukan novel namanya, tapi diktat sejarah. 

Begitulah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment