| No comment yet

Pustaka & Kebangsaan


Bagaimanakah masyarakat memaknai kata "pustaka"?

Demikian pertanyaan yang memandu penulis buku ini mengungkap makna kata pustaka.

Panduan itu Pendit rujuk pada anjuran kalangan ahli semiotika untuk mengulas sebuah kata sebagaimana masyarakat memaknai kata itu, yang belum tentu sama dengan bagaimana mereka mengkomunikasikannya.

Setelah mengurai akar kata pustaka mulai dari Persia hingga India, Pendit membumikan pembacaan atas kata pustaka dalam konteks sejarah sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dengan pendekatan historis, ia menyisir penggunaan kata pustaka dalam catatan sejarah bangsa ini.

Pendekatan semiotika dan sejarah itu membuka dimensi pemaknaan yang berbeda terhadap istilah pustaka, sehingga menawarkan pembaruan (rejuvenasi) konsep pustaka.

Inilah yang membedakan penulis buku ini dengan kebanyakan penulis di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) di Indonesia yang biasanya hanya menginventarisasi padanan kata "pustaka" dan "perpustakaan" dalam bahasa-bahasa asing.

Masyarakat Indonesia merupakan semesta kata pustaka bagi Pendit. Dari situ ia memungut tiga bentuk praktik penggunaan kata pustaka, yang bukan sekadar dalam komunikasi sehari-hari, namun yang terlembaga atau menjadi institusi sosial-budaya dalam masyarakat penggunanya.

Tiga bentuk institusi sosial-budaya kata pustaka itu ialah: Pustaha; Radya Pustaka & Rekso Pustoko di Surakarta; serta Balai Pustaka pada masa kolonialisme Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka.

Cakupan kajian Pendit atas kata pustaka itu merentang sejak era Nusantara prakolonial hingga Indonesia pascakolonial.

Pustaha/Pustaka

"Di Batak, ada kata “pustaha” yang sangat mirip dengan kata pustaka. Kata ini merujuk tak saja ke benda berbentuk buku, tetapi juga ke sebuah institusi budaya yang berkaitan dengan kepercayaan setempat ..." (hal. 7)
Pustaha merupakan contoh perihal pustaka yang bukan sekadar medium menerakan aksara.

Di sini dapat ditambahkan catatan mengenai pengalaman Rusmin Tumanggor yang membuktikan bahwa mengkaji pustaha bukan berarti sekadar kemampuan membaca dan menulis aksara Batak, namun merupakan etos belajar (marguru) kepada para datu --untuk kemudian mempraktikkan kearifan seorang “terpelajar” di tengah masyarakat majemuk.


Foto diambil dari Perpustakaan Nasional.

Potret seorang Datu sedang memegang Pustaha. Sumber foto: https://artsandculture.google.com/exhibit/AQ2ZzxcN

Begitu pula Radya Pustaka dan Rekso Pustoko. Museum dan perpustakaan asuhan kerajaan-kerajaan di Surakarta itu memberi contoh tentang penggunaan kata pustaka sebagai nama institusi budaya yang menghimpun berbagai benda. Tak hanya naskah, namun juga foto, arca, peta, film, dan lain sebagainya yang dianggap memiliki nilai penting serta berkaitan dengan falsafah hidup masyarakat Jawa.

Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Museum_Radyapustaka-Surakarta01.jpg

Radya Pustaka berarti “pustaka kerajaan”. Selain menyiratkan bahwa isi museum itu awalnya merupakan koleksi milik Kasunanan Surakarta, juga bermakna bahwa lembaga itu merupakan himpunan sumber-sumber pengetahuan yang bagi pihak pemerintah Surakarta anggap berharga dan penting untuk disimpan dan pelajari.

 

Denah Museum Radya Pustaka ini menunjukkan keberagaman koleksi yang tidak hanya berupa buku atau naskah-naskah kuno. Sumber gambar: http://perpustakaanradyapustaka.blogspot.co.id

Sedangkan Rekso Pustoko yang berarti “menjaga/merawat pustaka” juga mengandung makna bahwa himpunan koleksi yang beragam di perpustakaan ini merupakan sumber-sumber pengetahuan penting, sehingga perlu dijaga/dirawat/dilestarikan.

Keberagaman koleksi Rekso Pustoko dan Radya Pustaka menjadikan perbedaan jenis lembaga keduanya, perpustakaan dan museum, seakan-akan menjadi tak relevan.

Kedua-duanya sama-sama berfungsi sebagai lembaga budaya yang menghimpun beragam jenis sumber pengetahuan yang dianggap penting serta sesuai dengan nilai-nilai panutan.


Perpustakaan Rekso Pustoko. Sumber foto: http://pitogoestin.blogspot.co.id

Maka, menurut Pendit, makna pustaha di tanah Batak maupun pustaka di Surakarta sebetulnya bukan merujuk ke bentuk/format atau medium belaka. Bukan perihal benda-benda yang menyerupai buku semata. Makna pustaha/pustaka sejatinya merujuk pada fungsinya yang mulia, terhormat, serta berharga untuk mempertahankan suatu nilai lokal-tradisional tertentu (hal. 8).

Balai Pustaka

Kios Balai Pustaka di Purwokerto. Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_%27Kiosk_van_%27Balai_Poestaka%27_te_Poerwokerto.%27_TMnr_10000591.jpg

Penulis buku ini memberi ruang yang cukup panjang dalam membahas Balai Pustaka. Sudah sewajarnya, mengingat lembaga ini punya pengaruh mendalam terhadap budaya berbasis tulisan (aksara Latin) di Indonesia. Ketimbang dua contoh sebelumnya yang bersifat lokal, cakupan pengaruh Balai Pustaka di kawasan Hindia Belanda jauh lebih luas.

Pada era kolonial inilah bangsa Indonesia mengenal kata buku yang diserap dari bahasa Belanda, boek, dan bahasa Inggris, book. Pendit mencatat bahwa kata buku merujuk ke sebuah teknologi baru yang berbeda dari ketika kata pustaka digunakan di masa sebelum kolonialisme melanda Nusantara. Buku merupakan sebuah medium hasil teknologi cetak mekanis menggunakan huruf Latin yang dibawa dari Eropa (hal. 6).

Uniknya, pemerintah Hindia Belanda mempertahankan kata pustaka sebagai nama lembaga untuk ‘pembinaan’ rakyat jajahan melalui bacaan dan keberaksaraan. Kata lectuur pada nama aslinya dalam bahasa Belanda, Kantoor voor de Volkslectuur, yang berarti bahan bacaan, diterjemahkan menjadi pustaka. Maka jadilah nama Balai Pustaka.

Tanpa melupakan perdebatan seputar sepak-terjang Balai Pustaka di tengah masyarakat jajahan, Pendit memberi kutipan apresiatif terhadap Balai Pustaka yang telah menjadi instrumen ampuh dalam memengaruhi perkembangan literasi dan kemudian juga sastra Indonesia serta budaya berbasis tulisan Latin pada umumnya di negeri ini.

“Kehadiran buku tercetak dan koran (kemudian juga radio dan telegram), ternyata tidak menghapus kata “pustaka” dari khasanah sosial-budaya Nusantara tetapi malah menguatkannya. Dalam konteks ini, maka Balai Pustaka (dan Politik Etis yang menjadi leitmotif-nya) sesungguhnya berperan cukup signifikan dalam perjalanan kebangsaan dan dan peradaban tertulis Indonesia, khususnya dengan membantu penulis-penulis Indonesia menyalurkan gagasan mereka. Tak pelak, pustaka pula yang berperan penting memperkuat identitas bangsa lewat bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” (hal. 30)
Kutipan di atas merupakan pemaknaan kata pustaka, khususnya pada Balai Pustaka, yang Pendit kaitkan dengan tema kebangsaan/nasionalisme --sebagaimana nampak pada judul buku ini.

Usai mengungkap makna pustaka dalam konteks masyarakat Indonesia, Pendit mengaitkan makna pustaka tersebut dengan uraian tentang kebangsaan. Lebih tepatnya, Pendit memaparkan peran pustaka dalam sejarah dinamika kebangsaan Indonesia.

Pustaka Raja-raja

Seperti pustaka, kata bangsa juga berasal dari bahasa Sanskerta, yakni vaṃśa yang kurang lebih berarti garis keturunan dalam tradisi kekuasaan.

Makna asali tersebut terdapat pada kata wangsa yang berarti dinasti atau kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga yang sama). Seperti Wangsa Sailendra, Wangsa Sanjaya, atau Dinasti Han, Dinasti Tang, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu sepadan dengan istilah "bani" dari bahasa Arab untuk menyebut era-era kekhalifahan.

Wujud pertautan pustaka dan konsep bangsa dalam konteks kedinastian di Nusantara ialah kronik atau cerita resmi kerajaan. Seperti Babad Tanah Jawi, Sulalatus Salatin, Hikayat Banjar, Salasilah Kutai, Sureq Galigo, dll. Teks-teks itu biasanya diawali dengan mitos tentang asal-usul leluhur sebuah dinasti. Dalam konteks ini, pustaka menjadi rujukan untuk melegitimasi kekuasaan demi memperoleh loyalitas rakyat.

Pustaka sebagai praktik budaya tulisan untuk meneguhkan kekuasaan feodal juga terdapat di Makassar dan Minangkabau. Dalam esei berjudul “Kerajaan Kata-kata” yang merujuk hasil-hasil penelitian Jane Drakard dan William Cummings, Pendit (2007: 69-82) mengurai perihal bagaimana raja-raja Minangkabau dan Makassar memanfaatkan bahasa serta tulisan sebagai instrumen kekuasaan simbolik untuk melegitimasi otoritas mereka. 

Pustaka Pergerakan Kebangsaan

Ketika kolonialisme Belanda kian merajalela, khususnya melalui ekspedisi penundukan kerajaan-kerajaan di Nusantara guna mewujudkan pax neerlandica, lanskap kekuasaan pun berubah serta menjadikan rakyat Hindia Belanda sebagai bangsa yang terprentah.

Perubahan lanskap kekuasaan serta perkembangan kapitalisme cetak di Hindia Belanda menggeser konsep bangsa yang semula berkisar di istana ke ranah publik. Pustaka pun memperoleh vitalitas baru sebagai instrumen bagi kalangan pergerakan. Dalam situasi ini, makna dan peran pustaka tak lepas dari proses kristalisasi konsep nasionalisme Indonesia.

Kebijakan Politik Etis, salah satunya berupa program pendidikan yang sedianya bermaksud menyediakan tenaga kerja terdidik untuk memutar roda-roda industri dan birokrasi, memunculkan konsekuensi yang pemerintah kolonial tak kehendaki. Lembaga pendidikan mencipta golongan menengah yang menjadi perantara gagasan perubahan di tengah rakyat terjajah untuk bergerak merebut kemerdekaan.

Kala itulah produk-produk cetak berupa karya sastra dan surat kabar berbahasa Melayu menjadi media untuk menyebar dan menyemai kecambah gagasan kebangsaan dalam konteks modern. Inilah era ketika kaum bumiputra mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia Belanda dalam suatu titimangsa yang Takashi Shiraishi sebut sebagai zaman bergerak.

Untuk membentengi kekuasaannya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Pustaka. Selain berhasil menyebarluaskan penggunaan huruf Latin dan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, Balai Pustaka juga mengubur ingatan mengenai para perintis gagasan kebangsaan dari kalangan Tionghoa dan Indo-Eropa.

Adalah Pramoedya Ananta Toer yang membangkitkan para pemula itu dari timbunan koleksi Museum Nasional. Ia menemukan tali sambung antara para penulis Tionghoa dan Indo-Eropa dengan kaum terpelajar bumiputra yang menjadi pemula gerakan nasionalis (Farid, 2008).

Hasil pelacakan sejarah gagasan kebangsaan Indonesia pada era perintis itu Pramoedya tulis menjadi empat jilid novel sejarah (Tetralogi Pulau Buru) perihal proses pencarian jati diri (bildungsroman) seorang tokoh bernama Minke yang bersetapak dengan jejak-jejak proses pematangan identitas kebangsaan Indonesia --khususnya pada sekuel “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah”.



“Hindia tidak berbangsa-ganda. Hindia berbangsa Hindia, bangsa Indisch. Menurut pikiran dasar ini pula, setiap orang Indisch, setiap orang Hindia, berbangsa Hindia, tak peduli berbangsa asal apa, Arab, Jawa, Keling, Belanda, Tionghoa, Melayu, Bugis, Aceh, Bali, Peranakan, bahkan totok asing pun yang tinggal dan mati di Hindia dan bersetia pada Hindia, itulah bangsa Hindia, bangsa Indisch.”
(Pernyataan Douwager alias Edu kepada Minke dalam novel “Jejak Langkah”. Hasta Mitra, 2000. hal. 358)
Setarikan nafas dengan semangat Pramoedya, Azmi Abubakar selama bertahun-tahun menghimpun puluhan ribu pustaka karya para pengarang etnis Tionghoa. Himpunan pustaka itu kemudian menjadi koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang dapat diakses oleh publik sejak tahun 2011. Inilah contoh kekinian perihal pustaka sebagai himpunan rujukan yang merajut kebhinekaan Indonesia.

Pustaka dan Perpustakaan

Terjadi perubahan makna kata pustaka ketika Indonesia merdeka. Catatan Pendit perihal perubahan itu memperlihatkan penyempitan makna ketika pustaka diapit imbuhan per-an, sehingga menjadi perpustakaan.

“Penggunaan kata ‘perpustakaan’ telah menggarisbawahi bahwa pustaka bukan lagi spesifik tentang karya tulis yang berfungsi kebangsaan sebagaimana yang berkembang di masa kolonial, melainkan sebuah urusan teknis dan pengelolaan buku dan berbagai media untuk berbagai keperluan yang diurus oleh pemerintah/negara. Dari sejak itulah maka perpustakaan cenderung identik dengan urusan pemerintahan dan birokrasi.” (hal. 39)
Birokratisasi pustaka bermula sejak 1951 dalam wujud sebuah kantor bernama Biro Perpustakaan. Kantor ini berkali-kali mengalami perubahan nama dan fungsi setelah digabung dengan kantor-kantor lain yang dianggap memiliki urusan serupa. Pada tahun 1967 biro itu berubah nama menjadi Lembaga Perpustakan, yang kemudian berubah lagi menjadi Pusat Pembinaan Perpustakaan pada tahun 1975 (Sulistyo-Basuki, 2008).

Konsep dan makna perpustakaan sebagai urusan teknis dan birokrasi semakin kentara ketika Perpustakaan Nasional Republik Indonesia didirikan pada 17 Mei 1980 dengan status sebagai salah satu “unit pelaksana teknis” di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan Nasional baru mendapatkan status sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen pada tahun 1989.

Catatan Akhir

Buku ini juga dapat dianggap semacam “naskah akademik” untuk Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Sebagai pengingat bahwa pustaka merupakan hakikat keberadaan perpustakaan sebagai institusi sosial-budaya untuk kemaslahatan bersama.

Uraian historis-kontekstual dalam buku ini menunjukkan bahwa pustaka sejatinya merupakan bagian dari upaya membangun peradaban bangsa Indonesia, bahkan semenjak konsep keindonesiaan masih dalam proses pembentukan. Hakikat itu terlupakan karena pembakuan/pembekuan istilah dan praktik perpustakaan sebagai urusan teknis-birokratis belaka.

Tanpa upaya pemahaman-kembali ini, Pendit memperingatkan bahwa kita patut khawatir baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia justru semakin menjauhkan perpustakaan dari masalah-masalah kebangsaan. 

Sumber gambar: www.facebook.com/plpendit


| No comment yet

Novel Gramberg, Naskah Palembang, & Cap Sultan

 


“Nah, bawa apa Raden Rasip?” tanya sultan dengan roman risih lantaran konsentrasinya buyar oleh kehadiran seseorang.


Pria muda itu mendekat dengan percaya diri, sembari membungkuk ia menyerahkan sebuah naskah yang agak tebal dan berkata, "Patik telah menyelesaikan tugas pagi ini dan berharap Sultan akan senang."


Sultan Mahmud dengan penuh semangat menerima naskah. Itu adalah karyanya, gagasannya sendiri, berjudul, "Petualangan Bangsawan Portugis Signor Kasto." Raden Rasip telah menulisnya pada halaman-halaman bergaris dan menghiasi halaman awal dengan kaligrafi yang rapi serta berwarna.


Dengan gembira Sultan Mahmud membuka naskah itu, kemudian menyenandungkan sebuah bait untuk meyakinkan diri apakah rimanya sempurna; karena karya ini, sebagaimana kebanyakan prosa Melayu, berupa syair, atau cerita dalam syair empat baris yang dibaca dengan irama tertentu.


“Sekarang, coba terka! Kau telah memberiku kesenangan besar dengan kerja kerasmu. Tidakkah menurutmu syair ini yang terbaik dari karyaku?”


"Oh ya, Yang Mulia," kata sang juru tulis sambil tertawa sopan, “Cerita tentang Raja Martalaya juga bagus. Sudah banyak dibaca di kota ini, patik bahkan sudah diminta membuat salinan untuk beberapa orang di Malaka."


Dalam sekejap sultan seolah terobati dari pengalaman tak menyenangkan pagi itu. Dengan riang ia berucap, “Aku senang mendengarnya dan dengan senang hati aku akan menghargai ketekunanmu. Tapi tunggu, aku punya satu pekerjaan menulis untukmu. Jadi duduklah di meja tulismu di sana dan siapkan piagem untuk Kampung Rantau beserta tanah dan hutannya. Aku ingin menempatkan seorang raban di sana. ”


Raden Rasip memenuhi keinginan sang sultan. Tak lama kemudian piagem sudah siap, kecuali bagian untuk nama dan cap yang masih kosong.


"Nama siapa yang hendak Yang Mulia cantumkan pada piagem ini?" tanya Raden Rasip.


"Serahkan itu padaku. Ambil cap dan stempelkan pada bagian itu," jawab sultan.


Sang juru tulis secara khidmat menyerahkan naskah piagem.


“Berikan kalammu sekarang!”


Setelah memegang kalam, sultan menulis nama Raden Rasip di piagem dengan tulisan yang bersih dan indah, kemudian dengan tatapan tegas ia kembalikan kepada juru tulisnya.


Raden Rasip tertegun, tak sepatah kata dapat ia ucapkan.


"Apakah kau senang, wahai temanku?" tanya sultan ramah.


Sejurus kemudian pemuda itu bersimpuh di hadapan sultan demi menghaturkan rasa terima kasih yang tak terucapkan.


Jika sultan dapat menjatuhkan hukuman tanpa ampun, ia juga tahu bagaimana memberi hadiah.


***


Fragmen dialog di atas merupakan nukilan dari sebuah novel berbahasa Belanda yang saya terjemahkan secara nekat dengan bantuan Google.


Novel itu berjudul "Palembang: Historisch-Romantische Schets uit de Geschiedenis van Sumatra". 



Ya, ini semacam novel sejarah. Karya seorang dokter militer yang berminat besar pada bidang budaya serta gemar menulis, namanya J.S.G. Gramberg. Novel sejarah "Palembang" ini terbit di Batavia (dan mungkin juga di Haarlem, Belanda) oleh penerbit H.M. Van Dorp & Co. pada tahun 1878.

Sebelum novel itu terbit, Gramberg sudah punya dua karya tulis terkait Keresidenan Palembang. 

Pertama ialah sebuah buklet setebal 55 halaman berjudul "De inlijving van het landschap Pasoemah". Buku kecil yang terbit pada tahun 1865 ini Gramberg tulis sebagai bahan rujukan untuk ekspedisi militer kolonial Belanda ke dataran tinggi Pasoemah Sindang Merdika.    


Pada bagian pengantar, Gramberg menulis sebagai berikut:

Buku yang saya persembahkan kepada publik ini sebenarnya merupakan penggalan dari sebuah karya yang lebih besar yang belum selesai mengenai lanskap Palembang. Namun, karena akan dilakukan ekspedisi ke Pasoemah untuk memasukkan kawasan itu ke dalam wilayah kekuasaan kita, saya tidak menganggap tidak pantas untuk memublikasikan beberapa halaman ini. Beberapa perubahan, bagaimanapun, sekarang harus dilakukan, karena pada awalnya dimaksudkan untuk mengajukan argumentasi perihal perlunya pengambilalihan kawasan Pasoemah. Tapi perdebatan itu kini tak lagi diperlukan, karena pemerintah memang sudah sepatutnya menyepakati pendapat ini.

...............(paragraf 2)....................

Penulis 

Palembang, Maret 1865


Namun pada bagian akhir, ia menambahkan catatan ringkas bernada jengkel sebagai berikut:

"Setelah brosur ini dicetak, kabar tak terduga datang bahwa ekspedisi ke kawasan Pasoemah telah ditunda untuk sementara waktu!"

Penulis

Palembang, Mei 1865

Kejengkelan itu muncul lantaran, sebagaimana terbaca pada kata pengantarnya, pertama-tama ia menulis buklet tersebut untuk terlibat dalam polemik perihal perlu tidaknya Belanda menurunkan kekuatan militer untuk menegakkan 'rust en orde' di kawasan Pasoemah. Menurut Frieda Amran (2015), ketika itu sebagian kalangan, termasuk P.L. Van Bloemen Waanders yang sedang menjabat sebagai Residen Palembang, merasa optimis bahwa penduduk Pasoemah dapat ditaklukkan lewat cara diplomasi. Akan tetapi, ada banyak juga yang berpendapat bahwa hanya senjata yang dapat membuat orang Pasoemah tunduk pada kekuasaan Belanda. Gramberg termasuk ke dalam kubu yang menganjurkan campur-tangan militer. 

Akan tetapi, waktu buklet itu belum selesai ia tulis, berpolemik seolah-olah tak lagi relevan karena pejabat Hindia Belanda di Palembang sudah mengambil keputusan menyerang Pasoemah dan beberapa kapal serdadu kolonial sudah berangkat dari Pelabuhan Batavia menuju Palembang. Oleh karena itulah Gramberg menyesuaikan tulisannya supaya dapat menjadi rujukan untuk ekspedisi militer. Sikap Gramberg itulah yang membuat Djohan Hanafiah (seolah-olah) menempatkan ia sebagai otak di balik aneksasi Pasoemah, sebagaimana dengan segera dapat mengingatkan kita pada Snouck Hurgronje dalam Perang Aceh.


Ulasan khusus mengenai isi buku Gramberg sebagai bekal untuk aneksasi Pasoemah sudah diurai secara sangat menarik oleh Frieda Amran; berupa serial artikel setiap Minggu dalam rubrik "Palembang Tempo Doeloe", pada halaman 5 surat kabar Berita Pagi, sejak 22 Februari 2015 hingga 19 April 2015.



Tulisan ke-2 Gramberg berisi uraian tentang empat kelompok masyarakat di kawasan Uluan Palembang, yakni artikel berjudul "Schets der Kesam, Semendo, Makakauw en Blalauw". Saya menduga, sejatinya tulisan tentang Pasoemah yang ia jadikan brosur itu adalah bagian awal dari artikel ke-2 ini, mengingat Pasoemah adalah hulu bagi keempat kelompok masyarakat yang ia jadikan artikel untuk TBG yang diterbitkan oleh BGKW pada tahun 1866.


Sebagaimana tulisan pertama, tulisan kedua ini juga dapat disimak syarahnya dalam Berita Pagi, sejak edisi Minggu 26 April 2015 hingga 31 Mei 2015.    



***

Kembali ke fragmen dialog antara Sultan Mahmud dengan juru tulisnya yang dalam novel itu bernama Raden Rasip. Sebagaimana Sultan Mahmud yang adalah sosok historis, juru tulis ini juga dapat dikonfirmasi namanya dalam buku karya R.H.M. Akib (1980: 51) yang menyebutkan bahwa Raden Rasip adalah penulis "Syair Perang Menteng". 

Sumber: Akib, R.H.M. 1980. "Sejarah Perjuangan Sri Sultan Mahmoed Badaredin II". Palembang: tanpa penerbit. hlm. 51.

Meski tentu saja dialog dalam novel Gramberg tersebut fiktif belaka. 

Gramberg menyisipkan dialog itu tidaklah tanpa preseden. Dua belas tahun sebelumnya, ketika masih bekerja di Palembang, ia pernah menghibahkan beberapa buah naskah Palembang ke perpustakaan milik perkumpulan masyarakat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di Batavia atau Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 

Dalam proses berpindah tangan dari Palembang ke Batavia itulah ia memberi keterangan bahwa naskah-naskah tersebut merupakan bahan bacaan populer di tengah masyarakat Palembang. 

Sumber: Drewes, G. W. J. 1977. “Directions for Travellers on the Mystic Path". The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 200.
Judul-judul naskah hibah itu antara lain:

1. Hikayat Martalaya, karangan Sultan Mahmud Badaruddin.
2. Hikayat Raja Budak.
3. Syair Kumbang.
4. Syair Nuri, gubahan Sultan Mahmud Badaruddin;
5. Syair Patut Delapan, gubahan Pangeran Panembahan Bupati, adinda Sultan Mahmud Badaruddin.
6. Syair Kembang Air Mawar, gubahan Pangeran Panembahan Bupati.
7. Syair Perang Menteng.
8. Pantun Sultan Badaruddin.

Sumber: Iskandar, Teuku. 1996. "Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad". Jakarta: Libra. hlm. 433.
Nampaklah bahwa naskah-naskah yang Gramberg anggap bacaan populer bagi masyarakat Palembang saat itu adalah karya-karya sastra yang dihasilkan di dalam istana. Bila membaca dialog fiktif di atas, dapat saja serta-merta disimpulkan bahwa budaya membaca naskah sastra itu sudah cukup luas di luar dinding istana ketika Sultan Mahmud Badaruddin II masih bertakhta. Sedangkan Gramberg memperoleh naskah-naskah itu pastilah dalam rentang antara 1863-1867 ketika berada di Palembang. 

Dari situ terlihat bahwa butuh waktu sekitar empat puluh tahun sejak serdadu kolonial menduduki Benteng-Keraton Kuto Besak pada 1821, ketika koleksi perpustakaan keluar dari tembok benteng; lantas tersebar ke tengah masyarakat sehingga memperluas budaya naskah di luar lingkaran istana. Naskah-naskah hibah ke Batavia adalah petunjuk faktual tentang fenomena itu.

Sebagaimana roman sejarah yang terkesan seperti "Satoe hal jang soedah kedjadian di .... dalem taon ....", fragmen dialog antara Sultan Mahmud dengan Raden Rasip itu juga mengandung imajinasi yang dapat diperiksa lebih lanjut. Khususnya adegan Sultan meminta dibuatkan "piagem" dan diambilkan "cap".

Agak aneh sebetulnya, karena adegan itu membayangkan Raden Rasip menulis "piagem" menggunakan kalam alias pena zaman dulu yang bisa berupa setangkai bulu unggas atau potongan batang pakis. Sehingga pastilah ia menulis itu di atas sehelai kertas. Tambah aneh lagi ketika kemudian sultan meminta juru tulisnya membubuhkan cap pada "piagem" yang sudah ditulis.

Piagem Kesultanan Palembang untuk pemimpin masyarakat adat di kawasan Uluan Palembang.
Sumber gambar: Foto Titet Fauzi Rachmawan dalam www.kompas.id

"Piagem" adalah surat mandat kekuasaan dari sultan kepada para 'pasirah' atau pemimpin di kawasan Uluan Palembang. Pada umumnya, "piagem" cenderung menyerupai prasasti karena biasanya ditulis di atas lempengan logam, sehingga jauh lebih awet ketimbang kertas. Saya kurang yakin Gramberg tidak mengetahui perihal itu, mengingat proses pengumpulan "piagem-piagem" sudah dilakukan pada era kepemimpinan Residen C.A. de Brauw (1851-1855) untuk kepentingan menyusun naskah Oendang-Oendang Simboer Tjahaja versi kolonial.       

Tapi saya kira sah saja Gramberg berimajinasi semacam itu demi menulis cerita. Apalagi dia juga dengan tepat menyebut istilah "tjap" yang memang istilah asali yang kemudian berubah menjadi "stempel" karena pengaruh bahasa Belanda. 


Silakan periksa lewat situs indeks naskah-naskah melayu; https://mcp.anu.edu.au/Q/searches.html; niscaya Anda akan menemukan ratusan kata "cap" yang digunakan dalam puluhan naskah melayu. Sedangkan kata "stempel" nihil temuan.


Daftar naskah yang memuat kata "cap".

Tak satupun naskah yang memuat kata "stempel".

Itulah kenapa Annabel Gallop mempertahankan penggunaan istilah "cap" ketimbang "stempel".

Sumber gambar: bit.ly/3Ktm5lm

Dari Gallop pula dapat kita ketahui bahwa untuk menghasilkan tampilan cap pada permukaan kertas, biasanya digunakan jelaga atau tinta (atau lilin). 

Sumber gambar: bit.ly/3tK84Jj
Sehingga cukup sulit membayangkan cap berbalut jelaga atau berlumur tinta dibubuhkan pada permukaan lempengan logam. 

Sumber: Gallop, Annabel Teh. 2019. "Malay Seals: from the Islamic World of Southeast Asia". Jakarta: Yayasan Lontar. hlm. 264.

Sekali lagi, sah-sah saja bagi Gramberg menuliskan imajinasinya. Karena kalau terlalu ketat, ya bukan novel namanya, tapi diktat sejarah. 

Begitulah.
| No comment yet

Jejak-jejak Pustakawan Perintis


Baru-baru ini ISIPII menerbitkan dua tulisan mengenai profil para perintis kepustakawanan Indonesia.


Tulisan pertama (24/12/2018) berjudul "Srikandi-Srikandi Dunia Perpustakaan Indonesia" oleh Elly Julia Basri, Harkrisyati Kamil, dan Utami Hariyadi.


Sumber gambar: https://isipii.org/artikel/srikandi-srikandi-dunia-perpustakaan-indonesia


Tulisan kedua berjudul "Mastini Hardjoprakoso, MLS: Sekilas Perjalanan Hidup dan Kontribusi dalam Bidang Perpustakaan di Indonesia" oleh Harkrisyati Kamil.


Sumber gambar: https://www.isipii.org/artikel/mastini-hardjoprakoso-sekilas-perjalanan-hidup-dan-kontribusi-dalam-bidang-perpustakaan-di

Dua tulisan itu memperingatkan pembaca untuk memeriksa kembali sejarah perpustakaan/kepustakawanan Indonesia. 


Istilah "Kepustakawanan Indonesia" tentu saja berarti dalam konteks Indonesia, yakni sejak negara-bangsa ini lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sebelum itu, yang ada adalah Kepustakawanan Hindia Belanda. 


Setahu saya, ada jurang pengetahuan yang cukup dalam mengenai masa transisi perpustakaan era Hindia Belanda ke Indonesia. Ya, tentu saja, itu karena keterbatasan pengetahuan saya yang belum benar-benar membaca sumber-sumber sejarah perpustakaan/kepustakawanan Indonesia. 


Catatan ringkas ini sekadar mengingatkan untuk mencari tahu apa yang perlu diketahui, sebagai penanda perjalanan, untuk pencarian lebih lanjut. 


***


Indonesia adalah wilayah bekas Hindia Belanda. Begitu pula lembaga-lembaga perpustakaannya. Indonesia mewarisi perpustakaan-perpustakaan dari era Hindia Belanda. 


Artikel Harsja W. Bachtiar berjudul "Perpustakaan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan" dalam buku biografi Mastini Hardjoprakoso, bagi saya, adalah petunjuk yang sangat baik untuk melacak jejak pewarisan itu.


Artikel dapat diakses melalui tautan ini: bit.ly/3CfRGDS

Kendati, sejak tulisan itu pula persoalan jejak penelusuran mulai muncul, yaitu buku-buku berbahasa Belanda yang Bachtiar rujuk.

Sumber: Bachtiar, Harsja W. "Perpustakaan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan", dalam Koestiniyati Mochtar, "Mastini Hardjoprakoso. Sosok Pribadi Unik". Jakarta: Yayasan Kawedri, 1994.

Bagi generasi Bachtiar, sih, memang tak cukup bermasalah dalam hal penguasaan bahasa Belanda. Apalagi jika bermodal latar belakang keluarga terpelajar. 


Begitu pula bagi generasi perintis pendidikan perpustakaan di Indonesia. Masalah justru muncul ketika hendak menerjemahkan rujukan-rujukan pendidikan perpustakaan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.


Catatan Rusina Sjahrial Pamuntjak menunjukkan perihal itu.


Sumber: Pamuntjak, Rusina Sjahrial. 1996. "Dan Pendidikan Perpustakaan Pun Terjadi ...". (Fotokopi dari koleksi pribadi Murtini Pendit).

Sumber: Pamuntjak, Rusina Sjahrial. 1996. "Dan Pendidikan Perpustakaan Pun Terjadi ...". (Fotokopi dari koleksi pribadi Murtini Pendit).


Rupanya pula, kajian tentang perpustakaan era Hindia Belanda memang tak banyak. Sekali lagi, ini kesimpulan sementara berdasarkan penelusuran terbatas.


Kajian secara ekstensif mengenai lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) yang selalu disebut-sebut dalam setiap tulisan tentang sejarah perpustakaaan Indonesia, pun, ‘baru’ muncul pada tahun 2009.


Itu pun baru kajian atas sebagian perjalanan BGKW, yaitu rentang tahun 1778-1867.

Sumber gambar: https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/34657


Masih dalam bahasa Belanda pula.


Kadang-kadang kenyataan semacam ini bisa bikin patah arang.


Tapi, untunglah ada Google Terjemahan, kan?



Sebuah buku berjudul "Science and Scientists in the Netherlands Indies" memberi petunjuk untuk melacak perihal perpustakaan dan kepustakawanan Hindia Belanda, khususnya pada masa perang.

Sumber gambar: Koleksi Hatta Corner UGM, http://langka.lib.ugm.ac.id/viewer/index/793.
Buku ini juga dapat diakses melalui bit.ly/3Cgoe0z.

Buku itu memuat nama beberapa orang pustakawan serta tulisan-tulisan mengenai pengadaan bahan pustaka untuk kepentingan mendukung proses rekonstruksi Hindia Belanda pasca Perang Dunia II.








Catatan kaki terakhir artikel ini memuat perihal tiga periode situasi perpustakaan di Hindia Belanda, yakni: 1) Sebelum 1816; 2) 1816-1910; dan 3) 1910-1945. Periodisasi itu disusun oleh Miss Van Aalten. Ada juga informasi penting tentang asosiasi pustakawan era Hindia Belanda serta terbitan berkala perpustakaan yang perlu ditelusur lebih lanjut. hlm. 464.

Mari simpan terlebih dahulu petunjuk-petunjuk itu. 


Kembali ke para perintis Kepustakawanan Indonesia.


***


Tulisan Putu Laxman Pendit memberi penjelasan historis-konseptual mengenai masa transisi dari era Hindia Belanda ke era Kepustakawanan Indonesia.


Sumber: Pendit, Putu Laxman. 2018. "Pustaka dan Kebangsaan". Jakarta: ISIPII. hlm. 39.

Sampai di sini, saya ingin menarik kesimpulan sementara, bahwa semangat zaman para perintis Kepustakawanan Indonesia atau “Pustakawan Perintis” ialah mendukung proyek “nation and character building”. 

Istilah “Pustakawan Perintis” saya kutip dari nama “Paguyuban Pustakawan Perintis Indonesia”. Suatu perkumpulan non-formal yang dibentuk oleh para pustakawan yang namanya tercantum dalam gambar daftar isi di bawah ini serta pada dua tulisan di atas.





Kesimpulan sementara itu juga saya bangun berdasarkan pendapat Elly Julia Basri, Harkrisyati Kamil, dan Utami Hariyadi yang saya kutip di bawah ini.


"Salah satu aspek yang menonjol dalam kepribadian ketiga tokoh pustakawan ini adalah semangat nasionalisme dan kegigihan mereka dalam membangun kepustakawanan ..."


Semangat mendukung proyek “nation and character building” juga dapat dibaca pada program-program kegiatan Perpustakaan Yayasan Idayu yang pernah Murtini Pendit pimpin. 


Tulisan Harkriyati Kamil mengenai Mastini Hardjoprakoso yang secara gamblang memaparkan perihal tahapan-tahapan pembentukan Perpustakaan Nasional merupakan cermin terang perihal semangat kebangsaan sebagai semangat zaman itu.


***


Demikianlah catatan sementara perihal jejak-jejak Kepustakawanan Indonesia yang masih banyak bolong-bolongnya ini.


Terima kasih kepada para penulis artikel di atas yang sudah mengingatkan untuk membaca kembali sejarah Kepustakawanan Indonesia.


A luta continua!


###


*Tulisan ini merupakan publikasi ulang, dengan sedikit perbaikan, atas catatan yang dimuat dalam grup Republik ISIPII pada 6 Januari 2019.