Jejak-jejak Perpustakaan Keraton Palembang

Sketsa Keraton Palembang. Sumber gambar: Hanafiah, Djohan. 1989. "Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan". Jakarta: Haji Masagung. hlm. 17.


“Bekas Sultan Mahmud Badaruddin merupakan pengecualian dalam hal ini. Ia mempunyai suatu perpustakaan yang agak luas.”

Keterangan tentang perpustakaan milik Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) itu dimuat dalam buku berjudul "Lukisan tentang Ibu Kota Palembang" karya J.I. van Sevenhoven yang terbit pertama pada tahun 1823. Sevenhoven menyaksikan keberadaan perpustakaan itu setelah pasukan Belanda berhasil menduduki Benteng-Keraton Kuto Besak pada bulan Juni 1821.



Akan tetapi deskripsi Sevenhoven mengenai perpustakaan istana teramat ringkas. Tak ada keterangan apapun dari Sevenhoven mengenai isi perpustakaan.

Itu karena perpustakaan telah dikosongkan sebelum pasukan Belanda menduduki keraton. SMB II belajar dari pengalaman sembilan tahun sebelumnya, yakni penjarahan kekayaan keraton Palembang oleh pasukan Inggris pada April 1812. 


"From the Sultan of Palembang's Palace 28th. April 1812".
Salah satu naskah koleksi Keraton Palembang yang dijarah oleh pasukan Inggris pada 28 April 1812, yang kini menjadi koleksi perpustakaan SOAS University of London.
Sumber gambar: Rahardjo, Jessica. "The development of Islamic intellectual tradition at the Sultanate of Palembang (c. 1750–1825): The evidence of manuscripts".
https://www.academia.edu/36442914/The_development_of_Islamic_intellectual_tradition_at_the_Sultanate_of_Palembang_c_1750_1825_The_evidence_of_manuscripts










Perihal pengosongan perpustakaan istana ini penulis simpulkan berdasarkan catatan Jeroen Peeters (1997: 13) mengenai pasukan Belanda yang hanya menemukan kekayaan sebesar Nlg. 10.759 ketika membuka kas kesultanan. Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya rahasia terbongkar bahwa masih ada sisa kekayaan sebesar Nlg. 37.000 berupa uang, emas, dan perak yang dititipkan kepada salah seorang kerabat istana.  

Keterangan lain yang mengindikasikan adanya pengosongan perpustakaan istana ialah tulisan Drewes (1977: 204) perihal Sevenhoven yang menggeledah rumah-rumah bangsawan untuk memburu sisa kekayaan sultan. Dalam proses penggeledahan itulah Sevenhoven memperoleh 55 buah naskah yang kemudian dikirim ke Batavia. Pengiriman 55 naskah ini disebutkan dalam notulensi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1880 (Ikram, 2004: 51) sebagai berikut:

“... 55 naskah Melayu dan Arab yang sangat indah tulisannya, dijilid rapi, dan dalam kondisi baik; di antaranya terdapat naskah yang sangat langka, telah dikirimkan kepada Residen Batavia oleh van Sevenhoven yang menjabat sebagai Komisaris Pemerintah Belanda di Palembang. Naskah-naskah yang ditemukan kembali, itu merupakan milik mantan Sultan Palembang Mahmud Badaruddin”.

Keterangan bahwa 55 naskah yang “ditemukan kembali” menunjukkan bahwa pasukan Belanda tak menemukan koleksi perpustakaan istana ketika mereka menduduki Keraton Kuto Besak.

Jumlah 55 buah naskah itu terbilang kecil jika dibandingkan kurang lebih 250 buah naskah hasil inventarisasi naskah Palembang yang tersebar di tengah masyarakat oleh Yayasan Pernaskahan Nusantara (YANASSA) pada tahun 2004. Belum lagi bila memperhitungkan juga naskah-naskah Keraton Palembang yang tersebar di perpustakaan-perpustakaan di Jakarta, Inggris, dan Belanda (Iskandar, 1986). 

Seorang peneliti YANASSA berpendapat bahwa beberapa naskah yang beredar di tengah masyarakat sepertinya adalah naskah-naskah koleksi istana jika ditilik dari bahan penjilidannya yang mewah (Rukmi, 2005: 153). Naskah-naskah Itu adalah sebagian dari koleksi perpustakaan istana yang tercerai-berai setelah kolonial Belanda menduduki Keraton Kuto Besak.  




Meski demikian, “hilangnya” koleksi perpustakaan istana juga dapat dilihat sebagai berkah di balik musibah. Persebaran naskah ke tengah masyarakat berdampak pada meluasnya keberaksaraan di luar tembok istana. Pada dekade 1880-an muncul perpustakaan persewaan naskah di Palembang (Kratz, 1977). 

Pada naskah-naskah yang dahulu milik perpustakaan persewaan itu, kini dikoleksi oleh Perpusnas di Jakarta, terdapat periteks berupa catatan tentang waktu peminjaman, judul naskah yang dipinjam, serta nama kampung tempat para peminjam bermukim. Nama-nama peminjam yang membubuhkan catatan-catatan itu antara lain: Tuhar Sudu, Sulaiman, dan Muhammad.

Dari nama-nama yang semuanya adalah laki-laki itu, tak satupun yang bergelar Raden, Kemas, Kiagus, maupun Masagus. Itu menunjukkan bahwa para pelanggan perpustakaan persewaan adalah penduduk dari kalangan umum atau masyarakat biasa (Putten, 2016).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment