Kembali ke Palembang: Perihal Percetakan Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848
oleh
Jeroen Peeters
Pendahuluan
Dalam sebuah artikel jurnal Bijdragen voor Taal-, Land- en Volkenkunde (1993), Nico Kaptein membahas sebuah kitab berjudul mawlid al-nabi yang diterbitkan di Surabaya oleh Husain bin Muhammad bin al-Husain al-Habsyi. Artikel itu memaparkan tentang peran para sayyid asal Hadramaut dalam hal produksi dan distribusi buku-buku keagamaan di Hindia Belanda. Hal menarik dari kitab mawlid yang ditemukan di Perpustakaan Universitas Leiden itu ialah waktu penerbitannya. Berdasarkan kolofon pada halaman terakhir, tercantum keterangan bahwa buku itu terbit pada 15 Ramadan 1269, yang bertepatan dengan 22 Juni 1853. Setelah membandingkannya dengan Al-Qur’an Cetak Palembang yang terbit pada 7 Agustus 1854, Kaptein berkesimpulan bahwa kitab mawlid dari Surabaya adalah buku cetak tertua yang diterbitkan oleh kalangan non-Eropa di Hindia Belanda (Kaptein 1993: 359). Saya berbeda pendapat dalam hal itu. Artikel ini akan membuktikan bahwa percetakan muslim tertua di Hindia Belanda berada di Palembang, bukan Surabaya.
Teks dan Konteks Percetakan Awal di Palembang
Pelacakan atas teks Islam tertua yang dicetak di Hindia Belanda, khususnya di Palembang, merujuk ke sebuah artikel tahun 1857 karya H. Von Dewall dalam Tijdschrift voor Inlandsche Taal- Land- en Volkenkunde (Von Dewall 1857: 193-198).
Dalam artikel ini Von Dewall mendeskripsikan sebuah Al-Qur’an Cetak yang dihadiahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1855 oleh C.A. de Brauw –yang kemudian menjadi Residen Palembang. Pada kolofon Al-Qur’an ini, menurut Von Dewall, tercantum keterangan bahwa kitab ini disalin dan dicetak oleh “Kemas Hadji Moehammed Azhari", seorang penduduk Palembang yang bermukim di Kampung "Pedatoe'an"; pencetakan Al-Qur’an itu selesai pada hari Senin, 7 Agustus 1854. Von Dewall kemudian mendeskripsikan tentang tampilan Qur'an Cetak itu. Paparan secara rinci mengenai tulisan, ukuran, dan jilidan, serta penjelasan tentang dekorasi kaligrafi pada beberapa halaman, termasuk pada halaman sampulnya. Di akhir tulisannya, Von Dewall mengutip surat dari Residen Palembang, A. van der Ven, yang memuat informasi tambahan mengenai pendirian percetakan ini:
Al-Qur’an ini diproduksi oleh seorang pribumi bernama Kemas Mohamad Asaharie, kelahiran Palembang, yang menetap beberapa tahun di Mekkah. Ketika pulang, ia membeli sebuah alat cetak litograf seharga 500 gulden di Singapura, yang ia gunakan untuk mencetak beberapa ratus eksemplar Al-Qur'an, yang banyak dibeli orang dengan harga 25 gulden per eksemplar. Naskah lain yang juga layak cetak, tidak diproduksi. Teks kitab dipindah ke permukaan batu menggunakan kertas khusus. Proses penulisannya sangat cepat. Sebagai bukti, syair yang saya lampirkan di sini, ditulis dan dicetak dengan cepat di hadapan saya. Syair ini adalah contoh luar biasa mengenai perilaku santun orang pribumi. Percetakan Kemas Mohamed Asaharie merupakan satu-satunya di Palembang. Kecuali saya keliru bahwa percetakan serupa juga ada di Surabaya. (Von Dewall 1857: 196-197).
Residen Palembang itu kemudian mengutip syair pendek berupa sanjungan kepada pejabat kolonial Belanda di Palembang (“adalah raja masa sekarang beritanya baik kepada orang”: “namanya mashyur setiap negeri” dst). Artikel Von Dewall dan catatan Van der Ven mengarahkan pembaca pada kesimpulan bahwa Kemas Haji Muhammad Azhari mendirikan percetakan pertama di Palembang pada tahun 1854, dengan tujuan mencetak dan menjual Al-Qur'an. Untuk menyempurnakan informasi itu, saya akan tambahkan beberapa informasi mengenai Kemas H. Muhammad Azhari, tanggal terbit Al-Qur’an Cetak pertama, beberapa buku lain yang ia cetak, dan hubungan kekeluargaannya dengan kalangan bangsawan di Palembang, dengan demikian akan memberikan informasi baru mengenai percetakan awal pada masyarakat Indonesia.
Ide penulisan artikel ini ialah data baru yang saya peroleh ketika melakukan penelitian lapangan di Palembang pada Januari 1988 dan Februari 1991. Selama kunjungan pertama saya di Palembang, saya mewawancarai Kiai Haji Muhammad Amin Azhari atau Baba Cek Ming (lahir 1910)*, seorang kiai ternama yang saat itu tinggal di 3 Ulu, Palembang.
Di penghujung wawancara, beliau menunjukkan pada saya sebuah Al-Qur’an yang katanya dicetak di kawasan 3 Ulu. Pernyataan itu diperkuat dengan bukti kolofon yang tercantum pada dua halaman terakhir Al-Qur’an itu. Atas kebaikan hati beliau, saya diperbolehkan memotokopi halaman-halaman tersebut. Berikut ini adalah transliterasi dari teks kolofon Al-Qur’an itu:
Sebermula adalah mengecap al-Qur'an al-'azim ini di atas Paris-lithographique yakni di atas impitan batu dengan khat suratan faqir ila Allahi ta'ala al-haji Muhammad Azhari ibnu kemas al-Haji 'Abd Allah, Palembang nama negerinya, Syafi'i mazhabnya, Asya'ari itikadnya, Junaydi ikutannya, Sammani minumannya. Maka adalah yang mengerjakan cap ini Ibrahim ibnu Husayn, Sahab Nagur nama negerinya Singapura tempat kediamannya daripada murid tuan 'Abd Allah ibnu 'Abd al-Qadir Munsyi Malaka. Telah selesailah daripada mengecap dia pada hari senen duapuluh satu hari daripada bulan Ramadan atas rukyat negeri Palembang pada hijrah Nabi - Salla Allahu 'alayhi wa-sallama - seribu dua ratus enam puluh empat tahun 1264. Maka membetuli pada dua puluh satu hari bulan Agustus tarikh Masehi seribu delapan ratus empat puluh delapan tahun (1848) dan enam belas hari bulan Misra tarikh Kubti seribu lima ratus enam puluh empat tahun (1564) dan sembilan hari bulan Ab tarikh Rumi duaribu seratus lima puluh sembilan tahun (2159) dan dua puluh empat hari bulan Isfandar mah tarikh Farsi seribu dua ratus tujuh belas tahun (1217). Maka adalah banyak bilangan Qur'an yang dicap itu seratus lima Qur'an. Maka perhimpunan mengerjakan dia lima puluh hari, jadi didalam satu hari dua Qur'an tiga juz, dan tempat mengerjakan cap itu didalam daerah negeri Palembang didalam kampung tiga ulu pihak kiri mudik kampung demang Jayalaksana Muhammad Najib ibnu almarhum demang Wiralaksana 'Abd al-Khaliq. Mudah-mudahan mengampuni Allah - subhanahu wa- ta'ala - bagi mereka yang menyurat dia dan yang mengerjakan dia dan yang membaca akan dia dan bagi segala ibu bapak mereka itu dan segala muslim laki-laki dan perempuan dan bagi segala ibu bapak mereka itu. Wa-salla Allahu 'ala khayri al-Khalqihi sayyidina Muhammad wa-Alihi wa-sahibihi wa-sallama.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari kolofon ini, yang dapat membantu kita mengoreksi pendapat sebelumnya dalam artikel Von Dewall. Kolofon ini menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang pertama dicetak pada 21 Ramadan 1264 atau 21 Agustus 1848, dengan demikian pencetakan Al-Qur’an ini mendahulu naskah mawlid dari Surabaya (22 Juni 1853) yang dibahas oleh Kaptein, juga Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada perpustakaan di Batavia (7 Agustus 1854). Seakan-akan hendak menyakinkan kita perihal tanggal bersejarah itu, Kemas Haji Muhammad Azhari mencantumkan tanggal pencetakan Al-Qur’an itu dalam beberapa sistem kalender: Hijriah (Islam), Masehi (Kristen), Kibti (Bangsa Mesir), kalender Romawi, dan kalender Persia. Pencantuman tanggal-tanggal berdasarkan lima sistem kalender itu mengindikasikan betapa penting makna peristiwa pencetakan Al-Qur’an itu bagi pihak penerbit. Hal yang juga menarik dari kolofon itu ialah pencantuman nama pencetaknya, sebagaimana alat cetaknya yang juga didatangkan dari Singapura, yakni Ibrahim bin Husain, beserta keterangan bahwa ia adalah murid dari Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dengan demikian hal ini mengonfirmasi tentang kepeloporan peran kalangan Jawi Peranakan dalam periode awal percetakan di Asia Tenggara (Proudfoot 1992: 13-14). Hanya saja, penelusuran atas asal-usul Ibrahim bin Husain menemui jalan buntu, karena saya tak dapat menemukan lokasi Sahab Nagur, negeri asalnya Ibrahim bin Husain, pada peta India. Barangkali Kota Nagur (atau Nagore) berada di Rajasthan, atau mungkin salah satu negeri di India Selatan, yang bernama Nagor.
Lokasi yang jelas dapat dilacak ialah tempat penerbitan Al-Qur’an ini, yakni Kampung 3 Ulu, Palembang. Ini lokasi yang berbeda dengan Kampung Pedatukan (10 Ulu) yang menjadi tempat penerbitan Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada perpustakaan di Batavia, yang kini dikenal sebagai tempat tinggal Haji Muhammad Azhari beserta keturunannya. Sedangkan Kampung 3 Ulu dikenang sebagai tempat tinggal Demang Jayalaksana, Muhammad Najib, anak dari Demang Wiralaksana, Abdulkhalik.
Berdasarkan sebuah silsilah yang ditulis pada dekade pertama abad ke-20 yang ditunjukkan kepada saya oleh salah seorang keturunan Demang Jayalaksana di 3 Ulu Palembang, Kemas Haji Muhammad Azhari menikah dengan saudara perempuan dari Demang Jayalaksana Muhammad Najib, yang bernama Nyimas Nalipah. Pernikahan itu berlangsung ketika Muhammad Najib masih hidup, yang menurut silsilah tersebut Muhammad Najib meninggal dunia pada 1268 H (1851 M). Pernikahan ini perlu dicatat sebagai aliansi antara dua keluarga bangsawan ternama, yang sezaman dengan aktivitas Kemas Haji Muhammad Azhari sebagai penerbit sejak 1848 hingga 1854. Berdasarkan gelar Kemas dan Nyimas, kedua keluarga ini berasal dari kalangan mantri. Selama Kesultanan Palembang, kalangan mantri merupakan suatu kelompok masyarakat tersendiri, yang menyandang gelar Kemas dan Kiagus. Berbeda dengan kalangan priyayi yang memperoleh status kebangsawanan karena keturunan raja, kalangan mantri diangkat ke posisi kebangsawanan atas kehendak Sultan, sebagaimana juga orang - orang dari keturunan Arab dan Cina, untuk menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan kesultanan (Watson Andaya 1994: 189). Asal-usul dari kalangan mantri ini tercantum dalam silsilah Muhammad Azhari dan Muhammad Najib. Ayah dari Muhammad Najib ialah Demang Wiralaksana yang bernama Abdulkhalik. Sedangkan ayah dari Demang Wiralaksana (Abdulkhalik) adalah Demang Jaya Sepuh Wira yang juga bernama Muhammad Najib.
Menurut K.H. Muhammad Amin Azhari, kakek buyutnya yang bergelar Demang Jaya Sepuh Wira adalah seorang tokoh penting dalam kalangan penambang timah di Bangka. Karena peran kepemimpinannya dalam perekonomian di Bangka, ia diangkat ke posisi mantri oleh Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774; lihat juga Watson Andaya 1993: 218-219). Tak ada informasi lebih lanjut mengenai profil Demang Jaya Sepuh Wira dalam sumber-sumber tertulis. Jauh lebih banyak informasi mengenai anak serta cucunya yang berperan dalam peristiwa politik –yang berujung pada kejatuhan Kesultanan Palembang dalam tahun 1821. Sebuah dokumen laporan ("Perihal Perilaku Para Pejabat Pribumi”) yang merupakan lampiran dalam laporan tahunan 1841, disimpan sebagai bagian dari “Arsip Palembang” di kantor Arsip Nasional Jakarta, berisi informasi perihal Demang Muhammad Najib dan ayahnya (Demang Abdulkhalik).
Di bawah tajuk “Nama dan gelar, tempat lahir, usia dan hubungan keluarga”, kita dapatkan informasi bahwa "Djaja Laxana (Mohamad Nadjib)" lahir di Palembang yang pada September 1841 telah berusia 31 tahun. Sebagai anak seorang Demang, ia menjadi bagian dari kalangan “bangsawan kecil”. Pada bulan Juni 1835, ia ditugaskan di Lematang Ilir, sebagai "Kepala Divisi”, dengan gaji bulanan sebesar 100 gulden. Dalam sebuah catatan mengenai profilnya sebagai pegawai, atasannya yang berkebangsaan Belanda menyebutkan bahwa ia "cukup rajin, meski butuh bimbingan untuk meningkatkan kemampuannya ". Di bawah tajuk "perilaku serta karakteristik umum dan khusus", atasannya memberikan penilaian secara cukup keras sebagaimana terbaca sebagai berikut: "Menampilkan sikap dingin, pemarah dan arogan". Catatan yang kurang menyenangkan ini diimbangi dengan adanya kepercayaan dari atasannya. Muhammad Najib dimasukkan ke dalam jajaran pemerintahan kolonial karena dianggap: “Setia pada status quo, karena ayahnya mengabdi pada anggota Dewan Hindia, Muntinghe, sehingga dihukum mati oleh penguasa kerajaan saat itu. Ia dekat dengan para petinggi di kalangan atas serta menengah, meski kurang dekat dengan kalangan umum yang tak selalu ia perlakukan secara adil" (ARNAS, Jaarverslag 1841, Conduitestaat: VII).
Hukuman mati atas ayahnya Muhammad Najib, Demang Wiralaksana, terkait dengan ekspedisi militer pertama yang dipimpin oleh H.W. Muntinghe, yang dikirim ke Palembang pada tahun 1819 untuk menundukkan Sultan Mahmud Badaruddin. Setelah negosiasi berlarut-larut yang tak membuahkan hasil, pada tanggal 12 Juni 1819 mulai ada serangan dari Keraton kepada pasukan Belanda, sehingga pasukan Belanda mundur dari posisinya dekat Keraton ke tepi selatan Sungai Musi.
Pasukan Belanda makin terdesak pada 15 Juni 1819, ketika posisi mereka di tepi selatan Sungai Musi dihujani serangan meriam dari Keraton, sehingga memaksa Muntinghe memerintahkan pasukannya untuk mundur. Sebuah naskah Palembang, yang disunting oleh Woelders (1975), mengisahkan peristiwa pada tanggal 13 dan 14 Juni 1819. Sultan Mahmud Badaruddin membuang orang-orang dari kalangan bangsawan yang berpihak pada Muntinghe. Salah satunya adalah Demang Wiralaksana, yang dihukum mati di Desa Belidah, sekitar 40 mil luar Kota Palembang.(1)
Hegemoni Belanda baru terwujud pada tahun 1821, setelah melakukan serangan ketiga di bawah pimpinan Jenderal H.M. de Kock yang berhasil menduduki istana Palembang. Mereka kemudian mengasingkan Sultan Mahmud Badaruddin (Woelders 1975: 19-24). Tumbuh berkembang di bawah situasi politik yang baru ini, anak dari Demang Wiralaksana, Muhammad Najib, segera tampil menonjol. Dalam tahun-tahun awal era kekuasaan Belanda, posisi dominan kalangan bangsawan istana yang diduduki oleh anggota keluarga Mahmud Badaruddin dikacaukan secara sengaja oleh pihak kolonial lewat peraturan-peraturan Residen Palembang yang mengangkat beberapa bangsawan yang bukan dari keluarga raja ke posisi penting dalam jajaran pemerintahan kolonial. Salah seorang petinggi dalam jajaran pemerintahan baru itu adalah Tumenggung Kerta Menggala, yang ditunjuk sebagai “Kepala Pengadilan”. Pada tahun-tahun berikutnya, yang ditandai dengan perselisihan sengit antar elit bangsawan Palembang, Tumenggung berhasil merekrut Muhammad Najib ke jajaran pemerintahan kolonial. Pada tahun 1835 Demang Jayalaksana Muhammad Najib diangkat sebagai Kepala Distrik Komering Ilir pada tahun 1835, setelah itu ia ditunjuk menduduki posisi baru di Lematang Ilir pada tahun 1846, lalu kembali ke Komering Ilir pada tahun 1846, dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1851 di Lematang Ulu.(2) Laporan tahunan 1841 mengkonfirmasi adanya koalisi antara kedua keluarga, karena menyebutkan pernikahan antara putra Muhammad Najib dan seorang putri dari Kiranggo Astra Menggala yang adalah saudara dari Tumenggung Kerta Menggala (Arnas, Arsip Palembang: Lampiran Laporan Tahunan 1841).
Jauh lebih sedikit mengenai biografi Kemas Haji Muhammad Azhari sang pelopor percetakan pada 1848. Untunglah ada sebuah sumber yang tak terduga memuat data penting mengenai Kemas Haji Muhammad ketika menetap di Mekkah, yakni sebuah naskah Melayu yang saya temukan dalam koleksi Kitab Kuning di KITLV. Dalam koleksi naskah keagamaan beraksara Arab yang dihimpun oleh M.M. van Bruinessen itu terdapat kitab Siraj al-Huda karya Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi al-Sumbawi, dicetak oleh Haramayn, sebuah penerbit ternama di Singapura yang mencetak buku- buku keagamaan. Kitab Siraj al-Huda itu juga memuat sebuah tulisan singkat tentang ajaran Islam oleh seorang penulis bernama Haji Muhammad bin Abdullah Azhari al-Palembani. Bahwa penulis ini mungkin adalah Kemas Haji Muhammad Azhari kita, yang mencetak Al-Qur'an pada tahun 1848, dapat didukung oleh bagian pengantar dari teks ini. Teks tambahan ini berjudul 'Atiyat al-Rahman, dimulai pada halaman dua dengan catatan singkat tentang penulis. Kemas Haji Muhammad Azhari memulai paparannya tentang prinsip-prinsip iman dengan mengakui utang intelektualnya kepada dua orang ulama, Sanusi dan Ibrahim Baguri. Penulis mengakui bahwa teks bahasa Melayunya berasal dari catatan yang diambilnya selama belajar di Mekkah pada tahun 1259 H (1843 M). Teks ini kemudian dilanjutkan dengan paparan singkat tentang doktrin terkenal dari dua puluh sifat Tuhan (sifat duapuluh), yang sebagian besar berasal dari kitab terkenal karya Sanusi. Bagian pendahuluan itu kemudian diikuti dengan perincian tentang tentang iman kepada para nabi, para malaikat, kitab-kitab suci, dan hari kiamat, disertai penjelasan masing-masing secara umum dan khusus.
'Atiyat al-Rahman secara khusus berisi tentang usaha keras untuk menyingkirkan ide- ide yang dapat merusak perintah ibadah dalam Islam. Ada penolakan keras terutama terhadap gagasan bahwa seorang mukmin yang telah mencapai tingkat makrifat dapat tak memenuhi kewajiban ibadah. Gagasan semacam itu dipandang sangat berbahaya dan tercela, sehingga perlu ada tindakan tegas. Jika para pengikut doktrin semacam itu tidak menunjukkan tanda-tanda pertobatan, mereka harus dihukum mati dengan segera: suatu tindakan yang bahkan dianggap lebih baik dari pada “membunuh seratus orang kafir”.(3)
Menarik juga untuk dicatat di sini bahwa dalam wawancara pertama, K.H. Muhammad Amin Azhari menyebutkan teks-teks lain, yang menurut beliau juga dicetak di Kampung 3 Ulu oleh Kemas Haji Muhammad Azhari, yakni kitab Dala'il al-Khayrat, kitab Salawat Syekh Ahmad Tayyib, dan sebuah Kitab Tauhid (mungkin teks 'Atiyat al-Rahman yang disebutkan di atas?). Informan saya mengklaim telah memiliki teks-teks cetak awal ini, namun telah beberapa tahun dipinjam oleh seorang kerabat yang belum mengembalikannya. Mengenai kebenaran klaim ini, sebagian di antaranya dibuktikan ketika, sekembalinya saya ke Palembang pada tahun 1991, saya ditunjukkan kitab Dala'il al-Khayrat yang disebutkan di atas, sebuah karya mistikus Maroko Sayyid Sulayman al-Jazuli. Kolofon kitab ini berisi pembukaan sebagai berikut:
Al-hamdu lillah wa al-sallatu wa al-salamu ala rasulillah telah selesai daripada menyurat, asal Dala'il al-Khayrat ini pada hari senen yang ketujuh dari bulan Safar, hitungan al-hijriyya tahun 1265 daripada hijrah Nabi - salla Allahu 'alayhi wa- sallama. Maka membetuli sehari bulan Januari tarikh Masehi 1849 didalam negeri Palembang tiga ulu, kiri mudik di kampung demang Jayalaksana Muhammad Najib ibnu almarhum demang Wiralaksana 'Abd al-Khaliq, dengan suratan faqir ila Allahi ta'ala al-Ghani al-haji Muhammad Azhari ibnu kemas haji 'Abd Allah al- Falimbani.
Bagian pendahuluan ini kemudian dilanjutkan dengan penjelasan bahwa Muhammad Azhari menyalin kitab ini (menkhatamkan) di Masjid Nabawi Madinah berdasarkan sebuah kitab milik orang Maroko yang tinggal di Madinah, yang bernama Sayyid Syarif Muhammad ibnu Sayyid 'Abd al-Rahman al-Hassani, yang sekaligus memberikan ijazah kepada Muhammad Azhari atas pengabdiannya terkait kitab Dala'il al-Khayrat.
Sumber lain yang memberi keterangan mengenai biografi Muhammad Azhari beserta kerabatnya ialah sebuah silsilah yang ditulis pada awal abad ke-20 yang ditunjukkan kepada saya oleh Raden Husin Nato Dirajo di Kampung 27 Ilir, Palembang. Menurut Raden Husin, silsilah ini disusun oleh Raden Haji Muhammad Akib bin Raden Idris pada tahun 1323 H atau 1905 M. Silsilah susunan Muhammad Akib ini semacam kumpulan biografi kalangan bangsawan Palembang, sejak Sultan-Sultan pada abad ke-18 hingga keturunan Pangeran Ratu Purbaya yang masih hidup pada awal abad ke-20. Mengingat ada banyak silsilah di Palembang yang dimusnahkan secara sengaja oleh para pemiliknya pada masa awal Revolusi Indonesia, silsilah ini adalah salah satu dari sedikit bukti perihal pengetahuan asal-usul garis keturunan (genealogi) di Palembang yang masih dapat ditemui pada awal abad ke-20.(4)
Berdasarkan beberapa informasi terpisah dalam silsilah ini, pohon keluarga Kemas Haji Muhammad Azhari, melalui ayahnya yang bernama Kemas Haji Abdullah, dapat ditelusuri hingga ke kakeknya yang bernama Kemas Haji Ahmad –yang adalah salah satu syekh pertama dari tarekat Sammaniyah di Palembang. Setelah itu, makin ke atas, silsilah Muhammad Azhari makin tidak dapat diidentifikasi lagi. Dan setelah menyebut empat generasi lebih, silsilah itu berakhir dengan nama Sunan Kudus.(5) Silsilah susunan Muhammad Akib ini memberi petunjuk menarik tentang hubungan kekerabatan para ulama Palembang.
Tak ada keterangan cukup rinci mengenai kehidupan Haji Abdullah yang adalah ayah dari Kemas Haji Muhammad Azhari, kecuali gelar “haji” yang dapat dimaknai bahwa ia juga adalah seorang ulama seperti anaknya.(6) Justru lebih banyak informasi mengenai saudara laki-laki dari Kemas Haji Abdullah, yang berarti adalah paman dari Kemas Haji Muhammad Azhari, yakni Kemas Haji Muhammad bin Haji Ahmad. Silsilah Muhammad Akib menyebutkan tentang pernikahan anak perempuan dari Kemas Haji Muhammad, bernama Nyimas Zubaidah (juga dikenal dengan nama Ratu Ulu), dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Perihal hubungan kekerabatan ini juga disebutkan dalam naskah Keraton Palembang, yang sekarang disimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta.
Paman dari Kemas Haji Muhammad Azhari, yakni Kemas Haji Muhammad bin Ahmad, juga adalah seorang penulis. Sebuah kitab terjemahan dalam bahasa Melayu karya Kemas Haji Muhammad bin Ahmad berjudul Bahr al-Aja'ib, berangka tahun 1223 H (1808 M), yang menyebutkan nama Sultan Mahmud Badaruddin pada halaman depan, serta keterangan bahwa Kemas Haji Muhammad membuat kitab terjemahan dalam bahasa Melayu itu berdasarkan kitab karya 'Abd al-Rahman al-Bistani. Dengan demikian kesimpulan Drewes benar bahwa masa produktif Kemas Haji Muhammad harus ditempatkan pada kuartal terakhir dari abad ke-18 dan awal abad ke-19 (Drewes 1977: 225).
Satu lagi kitab terjemahan dalam bahasa Melayu oleh Kemas Haji Muhammad bin Ahmad ialah kitab riwayat hidup Muhammad Samman, seorang syekh ternama pada abad ke-18 di Madinah. Manuskrip manakib mengenai Tarekat Sammaniyah ini juga memuat tentang hubungan spiritual ke Kemas Haji Muhammad Azhari. Sepengetahuan saya, tak dapat ditemui lagi manuskrip yang dikaitkan dengan Kemas Haji Ahmad. Ketenaran Kemas Haji Muhammad bin Ahmad tampaknya lantaran perannya sebagai perantara antara Abdussamad al-Palembani di Hijaz dengan lingkaran ulama istana Kesultanan Palembang. Dengan demikian nama Kemas Haji Ahmad ada dalam kitab-kitab yang berkaitan dengan Tarekat Sammaniyah, seperti Ratib Samman atau teks-teks dari jenis Hikayat Muhammad Samman yang diproduksi di Palembang. Contoh Ratib Samman dari abad ke-19 yang dicetak di Palembang ditunjukkan kepada saya oleh K.H. Muhammad Amin Azhari saat kunjungan kedua saya ke Palembang. Naskah ini memuat nama Kemas Haji Ahmad Azhari bin Almarhum Syekh Muhammad Azhari sebagai penyunting naskah. Selanjutnya ada keterangan bahwa naskah yang berangka tahun 1313 H/1895 M ini dicetak di Kampung Pedatukan 12 Ulu Palembang, tempat bermukim keturunan Kemas Haji Muhammad bin Abdullah Azhari.(7) Di bagian bawah pada halaman 11, kita menemukan silsilah yang memuat nama-nama syekh ternama dari Tarekat Sammaniyah di Palembang. Pada halaman 13, silsilah ini akhirnya mencapai sosok bersejarah Syekh Muhammad Samman, pendiri tarekat ini. Kemudian nama-nama beberapa muridnya yang paling berpengaruh: Syekh 'Utsman dan Sayyid' Utsman, Syekh Sadiq bin Umar Khan, Syekh Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari, dan akhirnya 'Abd al-Samad al-Jawi. Sejak nama terakhir inilah rantai Sammaniyah berlanjut di Sumatra Selatan: Ahmad yang adalah ayah dari Syekh Muhammad, lalu Muhammad Azhari bin Abdullah al-Palembani, kemudian berakhir dengan nama Masagus Haji Abdulhamid bin Mahmud.(8)
Nama Kemas Ahmad juga muncul dalam Hikayat Muhammad Samman versi Palembang yang disalin pada 1271 H/1856 M –yang sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Dalam naskah ini kita menemukan lagi perincian tentang murid-murid Muhammad Samman ("orang yang menerima baiat kepada tuan Syekh Muhammad Samman"), yang lagi-lagi termasuk nama-nama “Abdussammad pada negeri Palembang” dan “Tuan Haji Ahmad negeri Palembang”, dengan demikian informasi itu mengkonfirmasikan apa yang diuraikan dalam silsilah susunan Muhammad Akib yang menggambarkan Haji Ahmad sebagai murid Syaikh Muhammad Samman (Mahyudin 1980: 44).
Simpulan Penutup
Dalam artikel ini saya telah mengumpulkan data silsilah, kitab-kitab keagamaan, dan pengetahuan lokal lainnya dari Palembang yang dalam beberapa hal terkait dengan percetakan Kemas Haji Muhammad Azhari. Kesimpulan utama yang dapat ditarik di sini ialah mengenai kepeloporan percetakan yang ia dirikan pada 1848, bukan 1854 sebagaimana pendapat Von Dewall. Dengan demikian, percetakan Kemas Haji Muhammad Azhari menduduki posisi terhormat sebagai percetakan non-Eropa pertama di Hindia Belanda. Transisi dari manuskrip ke percetakan di Palembang tak terjadi dalam kekosongan politik. Jatuhnya Kesultanan Palembang serta kemerosotan peran kesultanan sebagai patron dalam pengembangan pengetahuan berdampak pada munculnya krisis di kalangan penulis istana, yang kemudian justru memunculkan percetakan Islam pertama di Hindia Belanda. Dalam hal ini, ada mata rantai yang hilang dalam silsilah Muhammad Akib, yakni mengenai bagaimana hubungan antara percetakan pertama di Indonesia ini dengan tradisi kepenulisan kesultanan. Karena, alih-alih membentuk kekuatan oposisi terhadap penguasa kolonial, percetakan Islam awal abad ke-19, seperti Kemas Haji Muhammad Azhari, justru membangun hubungan dekat dengan otoritas kolonial di Hindia Belanda. Dengan demikian, kolofon Al-Qur'an 1848 tidak hanya memberikan keterangan baru yang menarik pada pengenalan percetakan di Hindia Belanda, tetapi juga mengenai relasi negara dan agama di bawah pemerintahan kolonial. Ini adalah masalah lebih besar yang perlu dikaji para sejarawan percetakan di Indonesia.
Catatan
- Bagian dari UBL 7 terbaca sebagai berikut: Maka yang menteri-menteri Palembang yang masuk pekerjaan Idelir Menteng itu pengalasan dibunuh Sultan, dipotong lehernya di pangkalan pasar. Dan Demang Wiralaksana disuruh bunuh di dusun Belidah dan Kemas Abang dan Kemas Kusin jurutulis Idelir Menteng dibunuh keduanya di dusun Belidah, dan beberapa banyak orang yang dibuang oleh Sultan pada masa itu (Woelders 1975: 104).
- Lihat Regeringsalmanak 1836:49: idem 1840:61: idem 1846:81: idem 1851.
- "dan adalah membunuh dia seorang yang beritikad demikian itu terlebih baik daripada membunuh seratus kafir" (‘Atiyat al-Rahman: 46).
- Beberapa informan mengaku kepada saya bahwa keluarga mereka telah memusnahkan dokumen-dokumen yang dapat menjadi bukti tentang status kebangsawanan mereka pada masa awal revolusi, terutama setelah tiba berita di Palembang mengenai pembantaian atas para bangsawan Melayu di Sumatra Timur pada bulan Maret 1946 (lihat Reid 1979: 230-238).
- Teks aslinya sebagai berikut: "Dan kemas haji Muhammad itu anak kemas haji Ahmad talmid syekh Muhammad Samman dan kemudian haji Ahmad itu anak kemas Abdullah dan kemas Abdullah itu anak kemas Nuruddin dan kemas Nuruddin itu anak kemas Syahid dan kemas Syahid itu anak Sunan Kudus".
- Raden Husin Nato Dirajo menunjukkan kepada saya bahwa Kemas Haji Abdullah bin Ahmad adalah penulis naskah Melayu berjudul Bidayat al-Hidayat yang dicetak pada paruh kedua abad ke-19 di Mekkah. Sayangnya saya belum dapat melacak teks ini di koleksi perpustakaan Leiden dan Jakarta.
- Judul lengkapnya: "Adalah ini silsilah dan tawasul karangan bagi sayid syekh Muhammad bin sayid syekh 'Abd al-Karim al-Samman al-Madani tercap didalam negeri Palembang diatas perkerjaan hamba kemas haji Ahmad Azhari bin almarhum syekh Muhammad Azhari, Palembang didalam kampung Pedatukan 12 ulu, 1313."
- Perhatian khusus harus diberikan di sini untuk nama Masagus Haji Abdulhamid yang lebih dikenal di Palembang sebagai Kiai Merogan. Abdulhamid, pada tahun 1895 sudah pada usia lanjut, memulai karirnya sebagai pedagang produk hutan dan kayu yang sangat sukses. Namanya terkait dengan Masjid Merogan dan Masjid Lawang Kidul, keduanya didirikan oleh Masagus Abdulhamid. Ketika Masjid Lawang Kidul digunakan sebagai tempat Sholat Jum’at, muncul polemik antara dirinya dengan pengurus Masjid Agung di Palembang. Perihal polemik itu, lihat Peeters, “Space, Religion, and Conflict: The Urban Ecology of Islamic Institution in Palembang” dalam P.J.M. Nas (1995). Silsilah susunan Muhammad Akib memberikan rincian sebagai berikut: Masagus Abdulhamid bin Masagus Mahmud Kanang bin Masagus Tarudin bin Pangeran Suryakusama Usman.

Reply to this post
Post a Comment