Khazanah Naskah Syair Bidasari -1- Mestika Sastra Melayu (Palembang)

Jika terkaan Van Hoevell benar bahwa naskah Syair Bidasari berasal dari Palembang, maka bukunya yang terbit di Batavia tahun 1843 adalah yang pertama menelaah naskah sastra Palembang.


"Sjair Bidasari: Een Oorspronkelijk Maleisch Gedicht"


"Syair Bidasari: Sebuah Puisi Melayu Asali"



Syair Bidasari sangat populer di negeri-negeri Melayu. Sebaran kisah ini merentang dari Pesisir Barat Sumatera, Semenanjung Malaya, hingga Kepulauan Filipina.


Silakan periksa katalog-katalog daring beberapa perpustakaan nasional berikut ini:


Perpustakaan Nasional Indonesia

Perpustakaan Negara Malaysia

Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei

Perpustakaan Nasional Singapura

Perpustakaan Nasional Filipina


***


Syair ini berkisah tentang seorang putri yang cantik serupa peri.


Tragedi jadi pembuka kisah ini.


Sang Putri memulai kehidupan sebagai bayi terlantar di tepi sungai dalam hutan.


Setelah dipungut dan dibesarkan oleh suami-istri pedagang, Bidasari tumbuh menjadi gadis jelita laksana bidadari.


Sosok Ratu Pencemburu muncul sebagai tokoh antagonis yang waswas raja akan jatuh hati pada Bidasari. Maka siasat licik pun bekerja.


Kehidupan Bidasari tergantung pada seekor ikan yang berfungsi semacam azimat baginya. Ikan azimat itu diambil oleh Ratu Pencemburu. Saat ratu mengeluarkan ikan dari air dan mengenakannya sebagai kalung, Bidasari hilang kesadaran dan tertidur. Sebaliknya, jika ratu tidur sehingga tak lagi memakai kalung ikan azimat, barulah Bidasari terbangun.


Raja kemudian membebaskan Bidasari dari guna-guna tidur itu.


Tragedi pun berakhir bahagia.


***


Adakah yang tiba-tiba teringat pada dongeng Snow White dan Sleeping Beauty?


Sumber gambar: https://www.pookpress.co.uk/wp-content/uploads/2015/05/SnowWhite_MagaretTarrant_3.jpg

Atau Princess Yue dalam serial Avatar?


Atau Arwen dalam The Lord of The Rings?


Tak hanya di Asia Tenggara, kisah Bidasari juga beredar di Eropa. Terjemahan W.R. van Hoevell (1843) dalam bahasa Belanda diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh Louis de Backer pada tahun 1875. Teks prosa Bidasari gubahan De Baker itu kemudian Starkweather terjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1901 (Chambert-Loir, 2006: 166).


Buku gubahan "Syair Bidasari" menjadi prosa dalam bahasa Prancis, edisi pertama 1875. Sumber gambar: https://eresources.nlb.gov.sg/printheritage/detail/7bc88688-dbca-4b95-b5ff-19f9a750f27c.aspx

Buku "Malayan Literature" yang memuat terjemahan "Syair Bidasari" dalam bahasa Inggris oleh Starkweather, edisi pertama 1901. Sumber gambar: https://archive.org/details/malayanliteratur00bidarich

Kalimat pembuka kata pengantar buku Starkweather yang terbit pada fajar abad ke-20 itu berbunyi:


“Easily the most charming poem of Malayan Literature is the Epic of Bidasari.”


“Puisi paling keren dalam Sastra Melayu, ya Syair Bidasari.”


Begitu kira-kira terjemahan bebasnya. 


Kendati begitu, terjemahan 1901 dalam bahasa Inggris oleh Starkweather bukanlah yang pertama.


Orang pertama yang menerjemahkan Syair Bidasari dalam bahasa Inggris adalah J.R. Logan.


Ya! Logan itu.


Orang pertama yang memopulerkan istilah “Indonesia” sebagai nama kawasan untuk gugusan kepulauan Nusantara. 


Logan ini tipikal intelektual publik. Ia anggota tiga lembaga keilmuan di India, Inggris, dan Hindia Belanda. Ketika mukim bekerja di Singapura, pada tahun 1847 ia menerbitkan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia,  dengan tambahan keterangan “Dicetak di Jerman”.


Dalam edisi perdana 1847 itulah, bersama belasan artikelnya yang lain, Logan memuat teks terjemahan SHA’IR BIDASARI dalam bahasa Inggris. 


Sebagaimana disebutkan di atas, selain berafiliasi ke lembaga-lembaga keilmuan dalam kawasan kekuasaan Inggris, Logan juga menjadi koresponden untuk lembaga keilmuan di Hindia Belanda (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen).


Korespondensi itulah yang melatarbelakangi penerjemahan Syair Bidasari oleh Logan dengan tetap mempertahankan bentuk larik-larik sajak sebagaimana terjemahan Van Hoevell empat tahun sebelumnya. Dalam catatan akhir pengantar teks terjemahannya, Logan mengaku memanfaatkan catatan-catatan pada terjemahan Van Hoevell; seraya mendaku bahwa teks terjemahannya lebih literal/harfiah, sehingga dapat juga diartikan lebih dekat/tepat, ketimbang terjemahan Van Hoevell.


Terjemahan "Syair Bidasari" dalam bahasa Inggris oleh J.R. Logan pada tahun 1847 yang mempertahankan bentuk bait-bait puisi. Sumber gambar:  https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.107692. hlm. 40.

Akan tetapi, terjemahan Logan itu tak tamat. Ia berencana memuat terjemahannya secara bersambung.


Terjemahan "Syair Bidasari" dalam bahasa Inggris yang hanya sampai bait 61. Di bagian akhir tertera keterangan 'bersambung'. Sumber gambar:  https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.107692. hlm. 48.

Dalam volume 3 jurnal yang sama, Logan memberitahukan bahwa pencantuman catatan penjelasan untuk istilah-istilah terkait adat-istiadat memerlukan banyak halaman. Kendala ruang itu jadi alasan terhentinya pemuatan sambungan terjemahan Shair Bidasari.


Menariknya, pemberitahuan tentang kendala itu adalah bagian dari catatan kaki yang panjang untuk artikel etnografis berjudul “The Manners and Customs of the Malays”. Dari situ nampaklah bahwa upaya penerjemahan naskah Sastra Melayu tak hanya soal apresiasi sastra, tapi sebagai sumber untuk memahami tindak-tanduk dan adat-istiadat orang Melayu sebagai masyarakat jajahan. 

“Dengan kata lain, sastra Melayu dipandang sebagai cermin keadaan masyarakat Melayu dan berfungsi sebagai referensi etnografis belaka. Buku-buku itu tidak dimaksudkan untuk mendidik penduduk lokal, tetapi para administrator kolonial Eropa yang harus belajar bahasa untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik dari yang dijajah. Untuk kepentingan itu, tak mengherankan jika mereka berfokus pada karya sastra yang memuat informasi tentang adat-istiadat masyarakat lokal.” (Warnk, 2009: 10)


Dalam perkembangan kemudian, syair romantis ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Rusia.


Begitulah. Penerimaan khalayak terhadap Syair Bidasari begitu luas. Tak terbatas pada kawasan gugusan kepulauan yang Logan sebut Indonesia. Sebagaimana dongeng peri yang ada di mana-mana, Bidasari diterima oleh berbagai bangsa, berbagai bahasa, lewat perantaraan tulisan, mesin cetak, dan kolonialisme.


***


Kembali ke awal, jika terkaan Van Hoevell benar bahwa Syair Bidasari adalah gubahan Palembang, meski awalnya adalah cerita rakyat yang tersebar di berbagai pulau, maka mesti sejak awal pula orang-orang Palembang membaca (kembali) alasan-alasan Van Hoevell menjustifikasi bahasa naskah Syair Bidasari adalah pengaruh Palembang.


Bukan untuk romantisme atau klaim belaka, tentu saja. Dengan menggali lagi bahasa kesusastraan dan kepengarangan Melayu Palembang di ladang bahasa dalam rumah itulah saya kira mestika justru akan didapatkan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Reply to this post

Post a Comment